SIKLUS REPRODUKSI
Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium sebelum dan sesudah permulaan siklus
reproduksi. Hewan betina harus menghasilkan ovum yang hidup dan diovulasikan pada waktu yang
tepat. Ia harus memperlihatkan estrus (berahi atau keinginan untuk kawin) dekat waktu
ovulasi sehingga kemungkinan penyatuan sel kelamin jantan dengan sel telur dan
kemungkinan pembuahan
dapat dipertinggi. Ia harus menyediakan
lingkungan intra-uterin yang sesuai untuk konseptus sejak pembuahan sampai partus,
demikian pula lingkungan yang balk untuk anaknya sejak lahir sampai waktu disapih.
Pubertas
(dewasa kelamin)
Pubertas dapat didefinisikan
sebagai umur atau waktu di mana organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan
perkembangbiakan dapat terjadi.
Pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi yang normal dan sempurna, yang masih akan tercapai kemudian.
Pada hewan jantan, pubertas ditandai
oleh kesanggupannya berkopulasi dan menghasilkan sperma di samping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain. Pada hewan
betina pubertas dicerminkan oleh terjadinya estrus dan ovulasi.
Sebelum pubertas, saluran
reproduksi betina dan ovarium perlahan-lahan bertambah dalam ukuran dan tidak
memperlihatkan aktivitas fungsional.
Pertumbuhan yang lambat ini sejajar dengan pertambahan berat badan sewaktu hewan berangsur dewasa. Apabila suatu umur atau
berat badan tertentu telah dicapai estrus dan ovulasi pertama terjadi walaupun dalam beberapa kasus ovulasi pertama
mungkin tidak disertai oleh estrus. Estrus dan ovulasi pertama disertai
oleh kenaikan ukuran dan berat organ
reproduksi secara cepat.
Homon dan Pubertas
Pertumbuhan dan perkembangan
organ-organ
kelamin betina sewaktu pubertas
dipengaruhi oleh hormon-hormon gonadotropin dan hormon-hormon gonadal.
Pelepasan FSH ke aliran darah menjelang
pubertas menyebabkan pertumbuhan folikel-folikel pada ovarium. Sewaktu folikel-folikel tersebut bertumbuh dan menjadi matang, berat ovarium meninggi dan estrogen
disekresikan di dalam ovarium untuk dilepaskan ke dalam aliran darah.
Estrogen menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan
saluran kelamin betina. Apabila folikel-folikel menjadi matang, ova dilepaskan
(ovulasi) dan turun ke dalam tuba Fallopii.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa
permulaan pubertas pada hewan betina disebabkan oleh pelepasan tiba-tiba hormon
gonadotropin dari kelenjar adenohypophysa ke dalam saluran darah dan bukan
karena dimulainya secara tiba-tiba
produksi hormon-hormon tersebut. Penentuan
hormon menunjukkan bahwa kelenjar adenohypophysa pada hewan betina yang belum dewasa kelamin mengandung
hormon-hormon gonadotropin dalam jumlah yang relatif besar namun tidak
menyebabkan terjadinya pubertas pada umur
muda tersebut.
Umur dan Berat
Badan pada Pubertas
Terjadinya estrus pertama pada hewan betina muda sangat menyolok karena timbul secara
tiba-tiba. Tampak seolah-olah suatu thermostat
fisiologik telah disentakkan untuk menimbulkan aktivitas reproduksi.
Hal ini berarti bahwa
timbulnya pubertas mungkin berhubungan melalui beberapa jalan dengan suatu perubahan keseimbangan antara
pengeluaran gonadotropin dan hormon pertumbuhan oleh kelenjar adenohypophysa.
Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan
sampai pertumbuhan badannya memungkinkan suatu kebuntingan dan kelahiran normal. Sapi-sapi dara sebaiknya dikawinkan menurut ukuran dan berat
bukan menurut umur.
Olds dan Seath
(1954) menyarankan bahwa sapi-sapi dara Holstein dan Brown Swiss dikawinkan sesudah mencapai berat kira-kira
340 kg, Airshire 295 kg, Guernsey 250
kg dan Jersey 227 kg.
Ukuran berat tersebut
tercapai pada
umur 10 sampai 25 bulan tergantung dari tingkatan makanan dan manajemen. Pertumbuhan pubertal yang cepat pada sapi-sapi
dara Holstein
dimulai selama bulan ketujuh sesudah lahir. Menjelang bulan kesepuluh pertumbuhan cepat saluran kelamin
terhenti dan pertumbuhan. umum mulai melambat (Desjardins & Hafs, 1969).
Dengan makanan dan manajemen yang
baik seekor sapi dara dapat dikawinkan pada umur 10 sampai 15 bulan, dan kuda pada umur 2 tahun.
Pada ternak betina pubertas
mulai timbul pada umur-umur:
Sapi, bangsa Eropah - 6 sampai 18 bulan
Sapi, Brahman dan Zebu - 12 sampai 30 bulan
Domba - 6 sampai 12 bulan
Sesudah perkawinan ternak
dara tingkatan makanan selama kebuntingan pertama harus cukup untuk kelangsungan
pertumbuhan dan perkembangannya
agar supaya menjelang waktu partus tidak terjadi komplikasi-komplikasi seperti distokia.
Faktor faktor yang Mempengaruhi Pubertas
Karena pubertas dikontrol
oleh mekanisme-mekanisme fisiologik tertentu yang melibatkan gonad dan kelenjar
adenohypophysa, maka pubertas tidak luput dari pengaruh faktor
herediter dan lingkungan yang bekerja melalui organ-organ tersebut.
Musim.
Domba-domba di negeri
beriklim sedang adalah ternak yang kawin bermusim dengan estrus pada betina dewasa hanya
terjadi pada akhir musim panas atau permulaan musim gugur.Domba-domba muda yang mungkin sudah cukup umur dan
cukup berat badannya
secara fisiologik telah mencapai pubertas beberapa minggu atau bulan sebelum musin kawin
tetapi tidak memperlihatkan tanda-tanda luar pubertas sampai tiba musim kawin. Namun
demikian, waktu lahir tidak mempengaruhi umur pubertas pada domba-domba betina muda.
Suhu.
Pengaruh suhu lingkungan
yang konstan terhadap timbulnya pubertas
pada sapi-sapi dara Brahman (Zebu). Santa Gertrudis dan Shorthorn telah dipelajari oleh Dale et al. (1959). Pada sapi-sapi dara yang dikandangkan pada 80OF (28,90C) pubertas dicapai rata-rata pada umur 398 hari dibandingkan dengan 300 hari pada 5OOF (100C). Pada sapi-sapi dara yang ditempatkan di kandang terbuka dan
berhubungan dengan kondisi udara luar, pubertas dicapai pada umur 320 hari.
Makanan.
Makanan yang cukup perlu
untuk fungsi endokrin yang normal. Tingkatan makanan tampaknya mempengaruhi sintesa
maupun pelepasan hormon dari
kelenjar-kelenjar endokrin. Pertumbuhan dan perkembangan
organ reproduksi hewan betina muda dihambat oleh kekurangan makanan
tanpa membedakan apakah karena tingkatan rendah
enersi, protein, mineral atau vitamin.
Akan tetapi berat hidup
hanyalah salah
satu dari faktor-faktor penentu umur pubertas. Apapun yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan, apakah itu
penyakit, kekurangan makanan atau faktor-faktor lain, akan memperlambat
timbulnya pubertas.
Kelambatan timbulnya pubertas
karena kekurangan makanan mungkin disebabkan oleh kadar rendah gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar adenohypophysa,
kurang respons ovaria, atau mungkin karena kegagalan ovaria untuk menghasilkan
jumlah estrogen yang cukup. Kurang
jelas apakah salah satu atau semua mekanisme tersebut terlihat.
Faktor faktor Genetik.
Faktor-faktor genetik yang
mempengaruhi umur pubertas dicerminkan oleh perbedaan-perbedaan antar bangsa,
strain, kelompok pejantan dan oleh persilangan dan inbreeding. Beberapa
bangsa sapi perah mencapai pubertas sebelum bangsa-bangsa sapi potong.
Pengaruh-pengaruh genetik pada
ternak mamalia betina, terutama pada inbreeding dan crossbreeding, menunjukkan bahwa
gene-gene yang mempengaruhi
pubertas sebagian besar bersifat non additive. Oleh karena itu, seleksi untuk umur
pubertas yang lebih muda di dalam suatu bangsa atau jenis hewan relatif akan tidak efektif.
Musim kawin (Breeding
Season)
Kebanyakan jenis hewan liar
mempunyai musim kawin tertentu, yaitu pada waktu di mana kondisi-kondisi lingkungan yang
baik memungkinkan
kehidupan anak secara optimum. Apabila kebuntingan berlangsung 5 bulan, maka
musim kawin dimulai pada musim gugur supaya anaknya akan lahir pada musim semi. Apabila lama
kebuntingan 9
bulan, maka puncak musim kawin adalah pada awal musim panas, juga supaya anaknya lahir
pada musim semi. Jadi, anaknya akan lahir pada waktu persediaan makanan cukup bagi induk untuk menghasilkan susu, dan suhu serta kondisi-kondisi iklim lainnya
optimum untuk kehidupan dan pertumbuhan anak.
Seleksi di antara hewan-hewan
liar terhadap hewan-hewan kawin bermusim telah pula berlaku terhadap variasi bermusim
dalam sekresi den
pelepasan hormon terutama gonadotropin dari adenohypophysa. Gene dan hormon mempunyai
hubungan satu dengan yang lain karena diketahui bahwa pada ternak dan hewan-hewan percobaan
gene bertanggungjawab
untuk produksi dan/atau pelepasan gonadotropin dan hormon-hormon adenohypophysa lainnya ke dalam aliran
darah.
Di antara ternak mamalia hanya domba yang
digolongkan sebagai ternak kawin-bermusim (seasonal breeders). Aktivitas seksual domba bervariasi dari
manifestasi estrus hanya pada periode singkat dalam satu tahun untuk bangsa domba di negeri-negeri dingin
sampai musim kawin sepanjang tahun
pada bangsa-bangsa domba di daerah tropis dan subtropis. Sapi dan babi
adalah pekawin terus-menerus (continuous
breeders) sepanjang tahun. Akan tetapi, ada beberapa
indikasi, terutama pada kuda betina,
bahwa betina-betina pekawin terus-menerus memperlihatkan kesediaan kawin yang lebih nyata pada musim kawin species primitif
tersebut.
Faktor faktor yang Mempengaruhi
Musim Kawin
Lamanya
slang hari (photo-period). Marshall
(1937) merupakan orang pertama yang menyelidiki bahwa suatu faktor luar
tertentu ber tanggungjawab untuk pembatasan musim kawin pada domba. Ia mengobservasi bahwa apabila domba-domba betina
dipindahkan melewati khatulistiwa dari belahan bumi Utara ke belahan
bumi Selatan, domba domba tersebut
segera merubah musim kelaminnya sesuai dengan
lingkungan yang baru. Beberapa betina mengalami perubahan radikal dan segera, betina-betina lain masih
mempertahankan ritme siklusnya yang lama untuk satu atau dua tahun
menurut musim kawin di negeri asalnya, tetapi
akhirnya menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Akan tetapi, beberapa betina lain tidak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru
dan tidak terpengaruh oleh rangsangan-rangsangan
luar yang secara normal menyebabkan timbulnya musim kawin. Sebagai akibatnya, betina-betina tersebut tidak pernah berproduksi pada lingkungannya yang baru.
Lamanya siang hari bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi
periodisitas kegiatan reproduksi. Lama penyinaran secara buatanpun ikut berpengaruh. Dengan menambah
lamanya penyinaran secara buatan di
musim dingin dan menguranginya selama musim
panas, maka musim reproduksi dapat berbalik terjadi pada musim
semi dan musim panas (Yeates, 1949). Apabila domba-domba betina diberi
penyinaran secara buatan 6 jam sehari selama 3 tahun, periode anestrus masih tetap berlangsung dari April sampai Juli dengan
puncak aktivitas seksual umumnya berlangsung dari Oktober sampai Januari
(Clegg et
al., 1965). Akan tetapi periode
aktivitas reproduksi cenderung untuk
diperpanjang, dan periode anestrus
diperpendek. Apabila domba-domba
betina bangsa Ile-de-France ditempatkan
di dalam suatu ruangan dengan
penerangan terus-menerus sepanjang tahun, kegiatan reproduksi akan berlangsung
seperti biasa pada musimnya yang
normal (Thibault et al., 1966). Satu-satunya perbedaan yang terlihat adalah tendensi
pemendekan musim reproduksi. Hasil
penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa
suatu ritme biologik internal,
di samping pemendekan siang hari, nampaknya ikut mempengaruhi kegiatan reproduksi dan timbulnya musim kawin
pada domba.
Suhu.
Pengaruh suhu adalah sekunder
terhadap pengaruh lamanya siang hari
atau lamanya penyinaran. Seleksi alamiah selama periode banyak generasi akan lebih efektif terhadap respons
lamanya siang hari daripada respons terhadap perubahan-perubahan suhu.
Faktor faktor lain.
Timbulnya musim reproduksi
pada domba-domba betina yang sama
sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Hal ini berarti bahwa faktor-faktor lingkungan tertentu selain daripada lamanya siang hari dan suhu
mungkin ikut pula terlibat.
Rangsangan-rangsangan
psikologik dapat pula mempengaruhi timbulnya musim reproduksi pada domba. Telah ditemukan bahwa
terjadinya musim reproduksi dapat dipercepat beberapa hari dengan menempatkan domba-domba
betina bersama domba-domba jantan sebelum
datangnya musim
tersebut. Kemungkinan
perangsangan tersebut menyerentakkan
estrus dan ovulasi. Telah diketahui bahwa ovulasi pertama pada permulaan musim reproduksi
biasanya tidak disertai oleh estrus.
Mekanisme
Hormonal.
Pengendalian reproduksi pada
ternak-ternak yang kawin bermusim sebagian besar
tergantung pada hypothalamus. Hypothalamus
menjalankan pengaruhnya melalui sel-sel syaraf yang menyebabkan pengeluaran faktor-faktor
pelepas (releasing factors) ke dalam peredaran darah menuju
ke kelenjar adenohypophysa. Faktor-faktor pelepas ini mengatur kadar pelepasan gonadotropin ke dalam aliran darah dan
secara langsung mempengaruhi produksi ova dan hormon-hormon kelamin betina oleh ovarium.
Kebanyakan hormon-hormon kelamin akan
menghambat aktivitas hypothalamus (feed back
Fase-fase
siklus berahi
Sekali pubertas telah tercapai dan musim
reproduksi telah dimulai, estrus terjadi
pada hewan betina-tidak-bunting menurut suatu siklus ritmik yang khas. Interval
antara timbulnya satu periode berahi ke permualan periode berahi berikutnya dikenal sebagai suatu siklus
berahi. Interval-interval ini
disertai oleh suatu seri perubahan-perubahan fisiologik di dalam saluran kelamin betina
Walaupun setiap species
mempunyai ciri-ciri khas dari pola siklus berahinya, namun pada dasarnya adalah sama. Siklus berahi umumnya dibagi atas 4 fase atau periode yaitu proestrus,
estrus, metestrus dan diestrus.
Beberapa penulis memilih pembagian siklus berahi atas dua fase, fase folikuler
atau estrogenik yang meliputi
proestrus dan estrus, dan fase. luteal atau progestational yang terdiri dari metestrus dan diestrus.
Proestrus adalah
fase sebelum estrus yaitu periode di mana folikel de Graaf bertumbuh di bawah
pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol yang makin bertambah. Sistem reproduksi
memulai persiapan-persiapan
untuk pelepasan ovum dari ovarium. Folikel, atau folikel-folikel, tergantung pada species, mengembang
dan diisi dengan cairan folikuler. Setiap folikel bertumbuh cepat selama 2 atau 3 hari sebelum estrus. Pada periode
ini terjadi peningkatan dalam pertumbuhan sel-sel dan lapisan bercilia pada tuba Fallopii,
dalam vaskularisasi
mucosa uteri, dan dalam tebal dan vaskularisasi epithel vagina, dan kornifikasi
terjadi pada beberapa species seperti anjing dan kucing.
Pada periode ini, sekresi
estrogen ke dalam urine meninggi dan
mulai terjadi penurunan konsentrasi progesteron di dalam darah. Corpus luteum dari periode terdahulu
mengalami vakuolisasi degenerasi dan
pengecilan secara cepat. Peningkatan menyolok pertumbuhan tenunan-tenunan epithel, aktivitas muskulatur
saluran reproduksi, sekresi mucus, dan
vaskularisasi endometrium dan mucosa vagina dikenal sebagai periode
pembangunan. Perubahan-perubahan ke arah
pembangunan ini disebabkan oleh sekresi estradiol yang makin meninggi. Pada akhir periode proestrus hewan betina
biasanya memperlihatkan perhatiannya
pada hewan jantan.
Estrus adalah periode yang ditandai
oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina. Selama periode ini umumnya hewan betina akan mencari dan
menerima pejantan untuk berkopulasi. Folikel de Graaf membesar dan menjadi matang. Ovum
mengalami perubahan-perubahan
ke arah pematangan. Estradiol dari folikel de Graaf yang matang menyebabkan perubahan-perubahan
pada saluran reproduksi
tubuler yang maksimal pada fase ini. Tuba Fallopii menegang, epithel menjadi
matang, dan cilia aktif; terjadi kontraksi tuba Fallopii dan ujung tuba yang berfimbria
merapat ke follikel de Graaf. Sekresi cairan tuba bertambah. Uterus berereksi, tegang, dan pada beberapa species
oedamatous. Suplai darah ke uterus bertambah; mucosa tumbuh dengan cepat, dan lendir disekresikan.
Lendir cervix dan
vagina bertambah. Mucosa berwarna merah jambu dan terjadi kongesti karena vaskularisasi
yang bertambah. Cervix mengendor dan agak oedematous. Mucosa vagina sangat menebal dan pada
beberapa species banyak sel-sel epithel berkornifikasi tanggal. Vulva mengendor
dan oedematous
pada semua species, tetapi sangat jelas pada babi. Pada sapi seutas tall lendir
menggantung dari vulva. Menjelang akhir estrus mungkin terdapat kenaikan jumlah leucocyte yang
berpindah ke dalam lumen uterus. Pada kebanyakan species ovulasi terjadi menjelang akhir periode estrus. Penerimaan terhadap pejantan selama
estrus disebabkan oleh pengaruh estradiol
pada sistem syaraf pusat, yang menghasilkan pola-pola kelakuan yang khas bags receptivitas pada berbagai hewan betina. Kelakuan kelamin jantan atau betina tidak
khas bagi satu jenis kelamin dan pada kondisi-kondisi tertentu setup jenis
kelamin dapat memperlihatkan kelakuan kelamin lainnya.
Metestrus atau postestrus adalah periode segera sesudah estrus di mana corpus luteum bertumbuh cepat dari sel-sel
granulosa folikel yang telah pecah di
bawah pengaruh LH dari adenohypophysa. Matestrus sebagian besar berada di bawah pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum. Progesteron menghambat sekresi
FSH oleh adenohypophysa sehingga menghambat pembentukan folikel de Graaf
yang lain dan mencegah terjadinya estrus.
Selama metestrus uterus mengadakan persiapan-persiapan seperlunya untuk menerima dan memberi makan pada embrio. Pada sapi, selama
bagian permulaan metestrus,
epithelium pada carunculae uterus sangat hiperaemis dan terjadii haemorrhagia kapiler. Hal ini disebut pendarahan metestrus atau pendarahan
postestrus atau "menstruasi". Pendaharan metestrus tidak sama dengan menstruasi pada primata (manusia dan
kera) yang terjadi sewaktu
mengurangnya progesteron dan disebabkan oleh tanggalnya lapisan-lapisan superfisial endometrium. Pada sapi, pendarahan matestrus berhubungan dengan mengurangnya estrogen. Sekresi mucus menurun dan kelenjar-kelenjar pada endometrium
bertumbuh dengan cepat. Menjelang
pertengahan sampai akhir metestrus, uterus menjadi agak lunak karena pengendoran otot uterus. Pada
anjing, kucing dan kelinci periode
ini meliputi pula periode kebuntingan semu (pseudopregnancy). Pada sapi, domba, babi dan kuda, lamanya metestrus
kurang lebih sama dengan waktu yang
diperlukan ova untuk mencapai uterus yaitu
kia-kira 3 sampai 4 hari. Pada anjing dan kucing, periode kebuntingan semu dapat berlangsung masing-masing 50
sampai 60 hari dan 30 sampai 40 hari. Apabila kebuntingan tidak terjadi,
uterus dan saluran reproduksi selebihnya
beregresi ke keadaan yang kurang aktif yang sama sebelum proestrus, disebut
diestrus.
Diestrus adalah periode terakhir dan
terlama siklus berahi pada ternak-ternak mamalia. Corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progestron
terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Endometrium lebih menebal dan
kelenjar-kelenjar berhypertrophy. Cervix menutup dan lendir vagina mulai kabur dan lengket. Selaput
mucosa vagina pucat dan otot uterus mengendor. Pada akhir periode ini corpus luteum memperlihatkan
perubahan-perubahan retrogresif dan vacuolisasi secara gradual. Endometrium dan
kelenjar-kelenjarnya beratrophy atau beregresi ke ukuran semula. Mulai terjadi perkembangan
folikel-folikel primer dan sekunder dan akhirnya kembali ke proestrus.
Pada beberapa species yang bukan polyestrous,
dapat terjadi anestrus.
Anestrus yang fisiologik umumnya
ditandai oleh ovarium dan saluran kelamin yang tenang dan tidak berfungsi. Anestrus normal akan diikutl oleh proestrus. Di negeri-negeri yang
mempunyai 4 musim, anestrus fisiologik dapat diobservasi pada kuda
selama musim dingin dan pada domba selama musim semi dan musim panas. Pada
anjing dan kucing suatu periode
anestrus fisiologik yang berlangsung beberapa bulan dan dapat terjadi
dua atau tiga kali setahun. Oleh karena itu dipakai
istilah anestrus untuk membedakannya dari diestrus, yang berlangsung hanya sekitar seminggu dan pada sapi, babi,
dan hewanhewan ployestrous lainnya
ditandai oleh corpus luteum yang matang. Selama anestrus uterus kecil dan mengendor, dan lendir vagina jarang dan lengket. Mucosa vagina dan cervix pucat,
cervix-pun pucat dan tertutup rapat.
Beberapa aktivitas folikuler dan pada ovarium
dapat berkembang tetapi pematangan folikel dan ovulasi jarang terjadi selama periode anestrus.
Lama berbagai periode siklus
berahi pada hewan-hewan peliharaan rata-rata sebagai berikut :
Jenis
hewan
Sapi
|
Proestrus
(hari)
3
|
Estrus
12 - 24 jam
|
Metestrus
(hari)
3-5
|
Diestrus
(hari)
13
|
Domba
|
2
|
1 - 2 hari
|
3-5
|
7 - 10
|
Secara keseluruhan, sapi,
babi dan kuda mempunyai siklus berahi yang berlangsung 20 sampai 21 hari, walaupun terdapat
variasi beberapa hari dari Batas waktu tersebut (Tabel 6-1). Domba mempunyai siklus berahi yang lebih pendek,
rata-rata 16 sampai 17 hari. Lama siklus yang abnormal dapat pula terjadi. Siklus berahi yang
terlampau singkat
menandakan
bahwa ovarium tidak berfungsi secara normal dan menunjukkan adanya suatu
ketidakseimbangan hormonal.
Sesuai dengan siklus
berahinya, hewan-hewan dapat dibagi dalam tiga golongan. Hewan-hewan monestrus
adalah
hewan-hewan yang hanya memiliki satu siklus berahi per tahun; termasuk ke dalam golongan ini biasanya hewan-hewan liar. Hewan-hewan polyestrus meliputi jenis-jenis
ternak sapi, babi dan kuda yang memperlihatkan estrus secara periodik sepanjang tahun. Selama bulan-bulan diakhir musim
gugur dan selama musim dingin kuda biasanya mempunyai satu periode anestrus. Ternak domba tergolong dalam
hewan-hewan polyestrus bermusim, karena mempunyai siklus berahi periodik hanya selama musim tertentu dalam setahun. Anjing dan kucing lebih menyerupai
hewan-hewan monestrus, dan dapat mempunyai 2 sampai 4 periode estrus dalarn setahun. Babi dan sapi yang sedang mempunyai anaknya dapat memperlihatkan anestrus, disebut lactational
anestrus (Wagner, 1966).
Berahi
(Estrus)
Estrus dan ovulasi sedikit banyaknya diserentakkan
pada hewan betina untuk mempertinggi kemungkinan pertemuan ovum dengan spermatozoa dalarn proses pembuahan untuk memulai
pertumbuhan dan perkembangan individu
baru Sinkronisasi estrus dan ovulasi perlu karena umur ovum sesudah ovulasi dan umur sperma yang sudah disemprotkan ke dalam saluran kelamin betina
sangat terbatas untuk beberapa jam.
Gejala-gejala Berahi
GejaIa-gejala berahi yang telihat dari luar hampir
sama pada semua ternak mamalia, walaupun
terdapat beberapa variasi antar-species.
Selama estrus, sapi betina
menjadi sangat tidak tenang, kurang napsu makan, dan kadang-kadang menguak dan berkelana
mencari hewan jantan. Ia mencoba menaiki sapi-sapi betina lain den akan diam
berdiri bila
dinaiki. Selama estrus ia akan tetap berdiri bile dinaiki pejantan den pasrah menerima pejantan untuk
berkopulasi. Vulva sapi tersebut dapat membengkak, memerah dan penuh dengan sekresi mucus
transparan (terang tembus, seperti
kaca) yang menggantung dari vulva atau terlihat di sekeliling pangkal ekor.
Domba betina yang berahi akan
mendekati dan memperhatikan pejantan, menggoyang-goyangkan ekornya dan akan diam
berdiri bila dinaiki
pejantan. Ia jarang menaiki betina-betina lain. Domba betina tersebut tidak mensekresikan
lendir selama estrus dan vulva tidak oedematous.
Kuda betina yang berahi akan
mengizinkan kuda jantan mencium dan menggigitnya tanpa memberi perlawanan, sering
mengangkat ekornya dan kencing. A
akan SAN diam bile dinaiki pejantan. Labia vulva dapat mengkuak dan memanjang dengan clitoris yang erektif. Sekresi bervariasi deism jumlahnya.
Lamanya Berahi
Lamanya berahi bervariasi
antara jenis hewan dan antara individu dalarn satu species. Kemungkinan sebagian besar perbedaan ini disebabkan oleh
variasi-variasi sewaktu observasi estrus, terutama pada sapi dengan periode berahinya yang
terpendek di antara semua ternak mamalia. Apakah hewan-hewan betina diobservasi untuk estrus memakai hewan-hewan
jantan intak atau yang divasektomi atau hanya dengan observasi visual dapat pula merupakan
suatu sebab perbedaan.
Beberapa faktor mempengaruhi
durasi estrus pada ternak. Sapi dan domba dara sering memperlihatkan periode berahi yang
lebih pendek daripada
betina-betina yang lebih tua, tetapi lamanya estrus nampaknya tidak dipengaruhi oleh umur
pada babi dan kuda. Periode-periode berahi yang lebih pendek terlihat pada kuda-kuda betina
selama musim semi
sampai pertengahan musim panas dibandingkan dengan pada musim-musim lain.
Lamanya berahi pada sapi-sapi
di tegalan di mana jarang terdapat makanan mungkin lebih pendek daripada sapi
yang dipelihara di kandang. Sapi yang berahi di pagi hari jarang memperlihatkan estrus jauh di malarn hari, dan sapi yang
pertama kali berahi di sore hari jarang berahi besok paginya. Mungkin periode-periode estrus yang
lebih pendek berhubungan
dengan kekurangan makanan di tegalan. Sapi-sapi dengan siklus berahi yang sangat
pendek den terjadi di pagi hari, jauh di malam hari, atau selama waktu malam dapat terlewatkan dan tidak diketahui sama sekali apabila perkawinan dilakukan secara
inseminasi buatan.
Berahi Selama Kebuntingan
Berhentinya estrus sesudah
perkawinan merupakan indikasi baik bahwa kebuntingan telah terjadi. Akan tetapi
berahi dapat terjadi pada 3 sampai 5 prosen sapi-sapi yang bunting terutama selama 3
bulan pertama mesa
kebuntingan walaupun dapat terjadi dalam bulan-bulan yang lebih tua. Domba dan kuda juga
menunjukkan gejala-gejala berahi sesudah bunting tetapi frekuensinya tidak diketahui.
Beberapa folikel yang tumbuh telah diobservasi pada hewan-hewan betina bunting tetapi jarang
terjadi ovulasi. Akan tetapi ovulasi harus pernah terjadi karena superfoetasi
atau dua
kebuntingan yang berbarengan dengan foetus yang berbeda umur pada induk yang sama telah pernah
dilaporkan.
Interval antara Partus den Estrus Pertama
Sesudah partus, hewan betina harus menghasilkan
susu untuk anaknya den menyiapkan uterus,
ovarium den organ-organ kelamin lainnya
dan sistem endokrin untuk memulai lagi suatu siklus normal dan untuk kebuntingan baru. Uterus harus kembali kepada
ukuran dan posisi semula (dikenal
sebagai involusi) dan mempersiapkan
diri untuk kebuntingan berikut.
Sapi.
Waktu yang diperlukan untuk
involusi pada sapi berkisar antara 30 dan 50 hari. Involusi uterus biasanya tercapai
menjelang periode estrus pertama sesudah partus. Interval antara partus ke estrus pertama pada sapi berkisar antara 50
dan 60 hari. Interval tersebut lebih lama , pada sapi potong yang kekurangan
makanan, den lebih lama pada sapisapi
yang menyusui anaknya dibandingkan dengan yang diperah due kali sehari. Ovulasi tanpa estrus terjadi juga pada sapi
yang menyusui anaknya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa rangsangan menyusu den bukan pengeluaran air susu
yang bertanggungjawab atas interval antara
partus den estrus pertama.
Kuda.
Pada kuda involusi uteri
terjadi pada 20 sampai 40 hari sesudah
partus. Karena estrus pertama sesudah partus terjadi dalam waktu 6 sampai 13 hari, make uterus belum cukup
berinvolusi sehingga angka konsepsi
akan rendah bile dikawinkan pada seat tersebut. Akan tetapi implantasi embrio tidak terjadi sebelum 40
sampai 60 hari sesudah fertilisasi, den pada seat itu involusi uterus
sudah sempurna.
Domba.
Waktu yang diperlukan untuk
involusi uterus pada domba mempunyai arti praktis yang kecil karena kebanyakan
domba mempunyai musim reproduksi
tertentu dan hanya melahirkan anak sekali setahun.
Sebagai akibatnya domba-domba betina jarang dikawinkan jika sedang menyusui, tetapi dikawinkan beberapa
bulan sesudah anaknya disapih. Hal ini memberi cukup waktu bagi uterus untuk
berinvolusi sepenuhnya sebelum
musim reproduksi berikutnya dimulai. Pada bangsa-bangsa domba yang melahirkan due kali dalam setahun, laktasi memperlambat kembalinya estrus sesudah partus.
Penyerentakan BerahÃ
Dengan penyerentakan berahi dimaksudkan
pengendalian siklus berahi sedemikian rupa
sehingga periode estrus pada banyak hewan betina terjadi serentak pada hari yang sama atau dalam waktu 2 atau 3 hari. Sinkronisasi estrus mempunyai beberapa
keuntungan praktis bagi peternak
terutama dalam peternakan sapi potong yang dipelihara secara ekstensif di lapangan dan perkawinannya
dilaksanakan melalui inseminasi buatan memakai bibit-bibit unggul yang
diinginkan. Di camping itu penggunaan teknik penyerentakan berahi pada
peternakanpeternakan sapi perah, babi den
domba juga dapat memberi arti ekonomis
yang tidak kecil. Konsentrasi periode berahi dalam 2 atau 3 hari akan
menghemat tenaga kerja; memungkinkan inseminasi pada banyak hewan betina dengan semen seekor pejantan unggul pada satu waktu tertentu; anak-anak yang lahir tidak
perlu dipisahkan menurut
kelompok-kelompok umur selama pertumbuhan dan penggemukan karena semuanya mempunyai umur yang hampir
sama; waktu partus dan pemakaian dapat lebih dikonsentrasikan pada
waktu-waktu tertentu sesuai dengan keinginan
peternak yang disesuaikan pula dengan permintaan
di pasaran dan menurut
pertimbangan-pertimbangan ekonomis. Dalam program pemindahan embrio (embryo transfer), tehnik
sinkronisasi estrus dapat dipakai untuk menyerentakan stadium siklus berahi antara hewan pemberi (donor) dan hewan penerima (recipient). Pemindahan embrio dapat dilaksanakan dengan berhasil ke dalam uterus penerima jika stadium siklus berahinya
bersamaan dengan keadaan uterus hewan donor. Supaya suatu program
pengendalian siklus berahi dapat berhasil
maka suatu angka konsepsi yang tinggi harus dicapai pada ovulasi yang
diserentakan.
Dasar fisiologik dari
penyerentakan berahi
adalah hambatan pelepasan LH dari edenohypophysa yang menghambat pematangan folikel de Graaf, atau penyingkiran
corpus luteum secara mekanik, manual atau secara fisiologik dengan pemberian preparat-preparat
luteolitik. Karena progesteron
menghambat pelepasan LH, pertumbuhan folikel, estrus
dan ovulasi, maka progesteron merupakan preparat pertama yang dipakai untuk sinkronisasi estrus. Metoda
pengontrolan ovulasi dengan penyingkiran
corpus luteum secara manual yang menyebabkan estrus dan ovulasi dalam waktu 3 sampai 5 hari, rata-rata 2
sampai 7 hari, penyuntikan 100 unit
oxytocin dari hari kedua sampai keenam siklus berahi untuk memperpendek siklus menjadi 8 sampai 12 hari,
pemakaian estrogen untuk
meng-involusikan corpus luteum, dirasakan terlampau pelik, tidak praktis dan berbahaya bagi pemakaian rutin.
Pemakaian progesteron dalam
sinkronisasi estrus pertama kali
dilaporkan oleh Ulberg, Christian dan Casida (1951) yang menyatakan bahwa apabila dimulai kira-kira 15 hari sesudah
akhir estrus, penyuntikan 50 mg
progesteron dalam minyak setiap hari atau 500 mg dalam bentuk "Repositol" setiap 10 hari akan
menghambat estrus dan ovulasi pada
sapi. Estrus terjadi dalam waktu 4 sampai 6 hari, rata-rata 5,2 hari, sesudah penghentian penyuntikan. Menurut Trimberger dan Hansel (1955) penyuntikan progesteron 50 sampai
100 mg setiap hari dari hari ke-15
sampai hari ke-19 siklus berahi akan menyebabkan estrus normal pada 14 dari 25
sapi yang disuntik dalam waktu rata-rata 4,6 hari sesudah penghentian penyuntikan dan hanya 50
prosen yang mempunyai corpora lutes
normal. Suntikan-suntikan progesteron
tidak selalu memberi respons yang
seragam karena perbedaan-perbedaan individual dalam kadar penyerapan hormon tersebut, dan kadar penghambatan dan pemulihan kembali dari hambatan sesudah
persediaan hormon di dalam tubuh
habis.
Kini telah dihasilkan berbagai
senyawa yang sama daya kerjanya dengan
progesteron. Beberapa senyawa tersebut cukup efektif bila diberi per oral dan
memberikan hasil yang lebih seragam pada hewan-hewan betina dibandingkan
dengan penyuntikan progesteron. MAP, 6-methyl-l7-acetoxyprogesterone,
(Upjohn Co. "Repromix") pertamakali
dievaluasi pada tahun 1960 oleh Hansel dan Malven. Sapi-sapi betina yang diberi makan lebih dari 500 mg MAP
setiap hari untuk 20 hari, menunjukkan
berahi pada waktu yang bersamaan tetapi angka konsepsi hanya mencapai 25
prosen. Pada tahun 1963 diperkenalkan CAP, 6-chloro-6-dihydro-l7-acetvxyprogesterone,
suatu senyawa progestational
yang lebih kuat. Dosis efektif minimal untuk MAP adalah 180 sampai 200 mg per hari per hewan yang diberi
makan setiap hari pada waktu yang sama, sedangkan untuk CAP cukup 10 mg per
ekor per hari. Terakhir telah diperkenalkan pula MGA, melengestrol acetate, yang jauh lebih kuat lagi dengan dosis
hanya 1 m per ekor per hari (Darwash et al. 1965; Rousel & Beatty, 1969). DHPA, dihydroxy
progesterone acetophenide, suatu
preparat progesteron lain, dapat pula dipakai untuk penyerentakan berahi
pada sapi (Wilt bank et al., 1967). Hanya MAP yang sudah tersedia secara
komersial di Amerika Serikat pada saat ini (Roberts, 1971). Lama optimum
pemberian preparat-preparat ini adalah 18
hari walaupun beberapa peneliti menganjurkan periode yang lebih pendek,
10 sampai 14 hari.
Angka konsepsi pada
percobaan-percobaan dengan sapi-sapi perah dara dan sapi potong memakai preparat-preparat ini mencapai 20 sampai 70
presen pada estrus pertama yang terjadi serentak dalam waktu 2 sampai 8 hari sesudah akhir pemberian preparat
progestagen. Sesudah pemberian MAP
sapi-sapi memperlihatkan berahi dalam waktu 3 sampai 4 hari; dengan CAP dan MGA intervalnya lebih lama
2 sampai 3 hari. Pada hampir semua
perlakuan angka konsepsi adalah 10 sampai 15 prosen di bawah nilai yang
diperoleh pada sapi-sapi kontrol dan diinseminasi
pada kondisi yang sama. Angka-angka konsepsi
pada periode estrus berikutnya, yang terjadi sesudah interval 21 hari,
adalah normal. Jadi tidak ada perpanjangan
pengaruh progestagen.
Periode siklus berahi, permulaan, pertengahan atau
akhir, sewaktu senyawa progestational mulai
diberikan tidak mempengaruhi angka konsepsi pada estrus pertama yang diserentakkan
(Astrom & Bane, 1968).
Angka-angka konsepsi yang
rendah pada estrus yang disinkronisasikan mungkin disebabkan oleh kegagalan pembuahan karena
gangguan pengangkutan
sperms di dalam saluran kelamin betina. Spermatozoa dalam jumlah banyak yang
ditempatkan ke dalam saluran kelamin pada estrus ternyata mempertinggi angka konsepsi
dibandingkan dengan
jumlah minimum
spermatozoa. Tidak ads bukti bahwa hubungan waktu estrus-ovulasi ads sangkut
pautnya dengan rendahnya angka konsepsi.
Menurut Jainudeen dan Hafez
(1966), fertilitas
yang rendah disebabkan oleh gangguan transport ova yang telah dibuahi atau kematian embrional.
Persenyawaan-persenyawaan progestatif telah dimasukkan ke dalam vagina dengan bantuan
spons atau batang-batang yang mengandung persenyawaan-persenyawaan tersebut. Persenyawaanpersenyawaan ini diserap oleh aliran darah dari epithel
vagina dan menghambat ovulasi. Pada waktunya, spons tersebut dapat dikeluarkan dari hewan-hewan betina dan estrus akan terjadi
dalam beberapa hari kemudian.
Pemakaian progestogen intravaginal pada sapi tidak sebaik pada domba karena biasanya terdorong keluar
sebelum habis waktu percobaan.
Obat-obat nonsteroidal yang
diberikan secara oral telah pula dicoba untuk menyerentakan berahi pada ternak. Di
antaranya yang terkenal adalah ICI-33828, 1-alpha
methylally-thin-carbomayl-2 methylthiocarbomoylyhydrazine atau methallibure,
yang dipakai untuk pengendalian siklus reproduksi pada babi. Pada ruminansia,
obat-obat nonsteroidal tidak
mempunyai pengaruh. Clomiphene atau MRL 4, suatu antiestrogen,
telah dicoba pada sapi dan menghambat estrus tetapi tidak terjadi ovulasi sesudah pemberhentian pemberian
obat. Clomiphene menghambat ovulasi dan mengganggu pelepasan LH.
Beberapa peneliti telah
mencoba pemakaian estrogen untuk menginvolusikan corpus luteum dalam suatu periode singkat pemberian MAP, 8 sampai 10 hari (Wiltbank & 1978). Ternyata
bahwa estrogen tidak memperbaiki prosentase ternak yang berahi serentak sesudah
pemberian MAP. Graves dan Dziuk (1978) telah
melaporkan bahwa penyuntikan 500 IU
HCG secara intramuskuler pada sapi 60 jam sesudah penghentian pemberian
MAP menyebabkan ovulasi kira-kira 40 jam kemudian, dan inseminasi harus dilakukan 25 jam sesudah penyuntikan HCG. Beberapa peneliti lain telah
memberikan FSH pada akhir percobaan dengan preparat-preparat progestogen dan
memberikan LH beberapa hari kemudian,
disusul dengan suatu periode yang lebih seragam kira kira 12 sampai 24
jam sebelum inseminasi untuk lebih memperbaiki
derajht sinkronisasi dan menghilangkan kewajiban mendeteksi estrus.Hasil-hasilnya cukup memuaskan tetapi masih
diperlukan lebih banyak penelitian sebelum dapat dipergunakan secara
praktis. Faktor-faktoi harga dan kejadian
multi-ovulasi jugs mempunyai peranan menentukan.
Preparat yang paling mutakhir dipakai dalam
sinkronisasi estrus adalah prostaglandin
dalam bentuk prostaglandin Fza (PGFza)
karena sifat luteolitiknya. PGFza dikenal sebagai suatu vasokonstriktor dan pemberian
PGFza menyebabkan
hambatan pengaliran darah secara drastis melalui corpora lutes beberapa
species. Pengurangan pengaliran darah
yang lama dapat menyebabkan regresi corpus luteum.
Pemberian PGFza pada sapi sesudah,
tetapi tidak sebelum, 5 hari sesudah estrus diikuti oleh penurunan kadar
progesteron di dalam serum darah, pengurangan ukuran corpus luteum (Louis at al., 1973), dan kembalinya estrus kira-kira 3 hari sesudah pemberian preparat tersebut (Inskeep, 1973, Launderdale, 1972; Louis at al., 1973). Fertilitas tampaknya normal, berdasarkan pengamatan pada jumlah
sapi yang terbatas, baik untuk sapi
yang diberi PFGza dan diberi embrio yang ditransferkan dari sapi
betina pemberi (Rowson et al., 1972) atau untuk sapi yang
diinseminasikan pada waktu estrus sesudah pemberian PGFza (Inskeep, 1973).
Biasanya PGFza sebanyak 4 sampai 6 mg,
rata-rata 5 mg, yang dilarutkan dalam 0,75 ml aquadestillata (Nakahara et- al., 1974) diberikan intrauterin ke dalam corpus antara hari ke-5 dan
ke-21 siklus berahi. Pemberian PGFza secara intrauterin dapat
pula dikombinasikan dengan penyuntikan
400 ug estradiol benzoat secara subcutan atau dengan 250 ug faktor pelepas LH (LH releasing factors, LH - RF) secara intramuskuler; estradiol disuntikkan serentak dengan pemberian PGFza, sedangkan LH - RF disuntikkan 60 jam sesudah pemberian PGFza. Hasil-hasil dengan
jumlah hewan yang sangat terbatas menunjukkan bahwa
pemberian PGFza tersendiri
hampir sama dengan kontrol dan masih
jauh lebih baik daripada kombinasi dengan penyuntikan estradiol atau LH - RF,
walaupun masih ada percobaan lain dengan hasil sebaliknya.
Menurut Nakahara et al (1974) pemberian hanya PGF2a intrauterin menyebabkan estrus pada
23,1%, 53,9%, 9,6% dan 13,4% sapi-sapi percobaan, masing-masing pada hari ke-2, ke-3, ke-4 dan
antara hari ke-9 dan ke-16 sesudah
pemberian preparat tersebut. Berarti bahwa mayoritas sapi-sapi percobaan memperlihatkan
estrus 3 hari sesudah pemberian PGFza.
Penyuntikan garam PGFza - TRAM sebanyak 30 mg secara sub cutan atau intramuskuler pada sapi yang mengandung corpus luteum pada ovariumnya, berdasarkan palpasi rektal,
memberikan fertilitas yang sama
dengan kontrol yaitu antara 52 dan 55 prosen pada inseminasi pertama sewaktu estrus yang terjadi 2, 3 dan 4
hari sesudah penyuntikan (Lauderdalo at, el.,
1974).
Penyuntikan 1,25 sampai 10 mg
PGFZa secara
subcutan pada kuda pada hari ke-6
sesudah ovulasi mengurangi lamanya dioestrus (Douglas & Ginther, 1972).
Suatu analog sintetik prostaglandin, ICI-79939,
dalam jumlah sedikit-dikitnya
100 ug yang diberikan secara intrauterin kepada kuda pada fase diestrus menyebabkan estrus dalam waktu 2 sampai 4 hari sesudah pemberian preparat tersebut (Allen & Rowson, 1973;
Allen & Rossdale, 1973).
PERKAWINAN PERTAMA
Pada waktu anak sapi betina dilahIrkan, alat
reproduksi telah Iengkap. Pada ovariumnya telah terdapat ratusan ribu sel telur
(ovum). Akan tetapi sel-sel telur itu tinggal sampai betina menjelang dewasa
kelamin. Sebelum masa dewasa kelamin tercapai, perkembangan sel telur tidak
diteruskan menjadi telur yang masak untuk diovulasikan. Pada ternak sapi perah
perkembangan folikel yang berisi sel telur menjadi masak dan siap diovulasikan
yang pertama pada umur 10-12 bulan. Pada saat itu sapi perah dara telah
mencapai umur dewasa kelamin atau masa puber. Secara alami sapi dara pada umur
itu telah dapat menghasilkan keturunan apabila dikawinkan pada waktu yang
tepat. Namun karena pada umumnya masa puber terjadi sebelum pertumbuhan
jasmaniah mencapai kesempurnaan, maka sapi dara tadi baru boleh dikawinkan
setelah mencapai umur 18 bulan. Dengan demikian pada umur sekitar 2,5 tahun
sapi akan beranak yang pertama kali. Sedangkan sapi pejantan baru boleh dipakai
sebagai pemacek yang pertama kali
setelah mencapai umur 18 bulan.
Umur dewasa kelamin pada sapi perah bervariasi karena dipengaruhi
oleh faktor ras, keadaan lingkungan dan terutama pemberian makanan. Pemberian
rnakanan yang baik dan dalam jumlah yang cukup akan mempercepat terjadinya
kedewasaan kelamin dan kedewasaan tubuh.
PENGAMATAN MASA BERAHl, SUKLUS BERAHI, DAN
KELAINAN SIKLUS BERAHI
a.
Pengamatan masa berahi
Ternak betina akan mau
menerima ternak jantan hanya pada waktu tertentu saja atau pada saat berahi
saja
Sebab organ reproduksi betina bekerja secara
teratur, sel telur diproduksi 3 minggu (21 Hari)sekali karena pengaruh kerja hormon. Akibat dari
kerja hormoon itu, maka perilaku sapi yang bersangkutan akan berubah. Itulah
yang disebut tanda-tanda berahi.
Untuk melakukan pengamatan masa berahi dan siklus
berahi, peternak harus memiliki pengetahuan dan pengalaman dilapangan. Sapi
dara yang telah mencapai umur dewasa kelamin, pada saat tertentu akan mengalami
berahi. Pada waktu sapi sedang berahi perangainya akan sangat mencolok.
Sapi yang sedang berahi akan menunjukkan perilaku
atau tanda-tanda sebagai berikut:
Sapi menjadi lebih peka atau mudah terangsang.
Sapi dalam keadaan gelisah, dan apabila sapi
tersebut diikat selalu berusaha melepaskan diri.
Di dalam keadaan lepas, sapi berusaha mencari
kontak atau mendekati pejantan.
Mencoba menaiki sesama kawan yang berdekatan.
Jika betina tadi dinaiki kawannya akan berdiam
diri, atau membiarkan dinaiki teman.
Sering melenguh, ekor agak terangkat ke atas.
Vulva nampak merah, membengkak dan hangat (apabila
diraba). Atau di dalam Bahasa Jawa populer disebut dengan istilah 3A (Abang,
Abuh, Anget).
Dari vulva sering keluar lendir.
Masa berahi
sapi perah berlangsung selama rata-rata 17 -
18 jam. Sapi dara pada umumnya mengalami masa berahi lebih singkat
daripada yang dewasa. Tanda-tanda berahi itulah yang dapat menolong peternak
untuk melakukan pengaturan perkawinan yang tepat. Pada saatnya siklus berahi
itu tiba, peternak harus dapat melakukan pengamatan dengan seksama, minimal
sehari dua kali.
b. Siklus
berahi
8agi sapi-sapi yang sehat atau normal, masa berahi akan terulang kembali
secara teratur dengan jarak waktu (interval) 21 hari sekali dan sapi dara 20
hari atau bervariasi 17 - 26 hari.
Terulangnya masa berahi secara periodik ini disebut siklus berahi. Pada
saat terjadinya masa berahi ini, proses pematangan folikel dan ovulasi pun akan
terulang kembali secara teratur. Siklus berahi yang lamanya 21 hari ini
dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu:
1. Fase pembentukan folikel: 5 hari.
2. Fase pembentukan corpus luteum: 16 hari.
Lebih kurang 30 jam sebelum berakhirnya
pembentukan folikel timbullah tana-tanda
berahi. Sedangkan ovulasi atau terlepasnya sel telur dari folikel terjadi 10-12
setelah berakhirnya gejala-gejala berahi.
Periode berahi pertama sampai dengan berahi
berikutnya disebut siklus berahi.
Siklus berahi sapi berlangsung secara teratur pada
setiap 3 minggu sekali.
Meskipun sedang berahi, sapi tersebut
kadang-kadang sama sekali tidak menunjukkan adanya tanda-tanda berahi.
Hal ini mempersulit pengamatan para peternak.
Peristiwa semacam ini disebut berahi tenang
(silent heat)
c. Kelalnan siklus berahI
Kadang-kadang para peternak dalam melakukan pengamatan mengalami kesulitan karena sering terjadi siklus berahi
yang tidak normal seperti, berahi tidak muncul (anestrous), berahi tidak
teratur (irregular estrous cycles) berahi tenang (silent estrous).
1) Sapi tidak berahi (anestrous)
Sapi yang tidak berkembang mengakibatkan sapi
tidak berahi. Kelainan genetis dan kesalahan pemberian makanan dapat juga
mengakibatkan organ reproduksi menjadi lumpuh dan tidak bisa berfungsi. Hal ini
bisa terjadi pada sementara sapi yang tidak mendapatkan makanan yang cukup dan
kelainan genetis kurang diketahui, tetapi ovariumnya tidak berfungsi sehingga
tidak bisa terjadi proses kemasakan folikel dan ovulasi.
Cara mengatasi kelainan semacam ini dapat
dilakukan dengan pemberian hormon gonadotropin melalui injeksi agar ovulasi
dapat ditingkatkan.
Adanya nanah dalam uterus atau plasenta akibat
injeksi juga dapat mengakibatkan sapi tersebut tidak timbul berahi (anestrous).
Dalam hal ini ada kemungkinan pula karena corpus luteum bertahan terus dan
menghasilkan progesteron yang mengakibatkan sapi tidak berahi. Oleh karena itu,
dalam hal ini usaha membersihkan nanah di dalam uterus sangat penting, agar
masa berahi berjalan normal.
2) Berahi yang tidak teratur
(Irregular estrous cycles)
Kadang-kadang ditemui adanya sapi yang siklus berahinya muncul lebih
awal, kurang dari 18 hari. Sebaliknya, ada pula sapi yang siklus berahinya
terlalu panjang, lebih dari 24 hari. Ketidakaturan siklus berahi semacam ini
umumnya lebih banyak dialami oleh sapi-sapi pada periode awal sesudah
melahirkan.
3) Berahi tenang (silent estrous / silent heat)
Menurut penelitian diperoleh suatu data bahwa terdapat 15-25 % dari
seluruh ovulasi yang terjadi tanpa adanya gejala-gejala berahi. Walaupun sapi
mengalami ovulasi yang normal, tetapi karena tanpa gejala berahi, maka hal ini
menyulitkan para peternak atau inseminator untuk melakukan perkawinan.
3. PERKAWlNAN YANG TEPAT
PADA SAAT BERAHl
Perkawinan yang tepat bagi sapi yang sedang berahi dilakukan pada
masa-masa subur. Masa subur yang dialami sapi perah berlangsung selama 15 jam.
Masa subur ini dicapai 9 jam sesuadah tanda-tanda berahi terlihat dan 6 jam
sesudah berahi itu berakhir. Ovulasi terjadi 10-12 jam sesudah berahi berakhir.
Pergeseran 3 jam ke belakang masih memberikan angka konepsi (pembuahan) yang
baik, akan tetapi lebih awal atau terlambat dari saat tersebut akan
menghasilkan angka konsepsi yang rendah. Apabila perkawinan terlambat, 10-12
jam sesudah berakhirnya tanda-tanda berahi, maka sel telur tidak dapat dibuahi.
Hal ini berhubungan erat dengan proses terjadinya ovulasi dan masa hidup sperma
dalam alat reproduksi : 24-30 jam. Oleh karena itu, sel jantan harus sudah siap
6 jam sebelum terjadinya pembuahan. Sebaliknya, apabila sapi dikawinkan terlalu
lambat, sel telur yang diovulasikan telah mati sebelum dibuahi.