Minggu, 21 Juni 2015

Siklus Reproduksi



SIKLUS REPRODUKSI

Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium sebelum dan sesudah permulaan siklus reproduksi. Hewan betina harus menghasilkan ovum yang hidup dan diovulasikan pada waktu yang tepat. Ia harus memperlihatkan estrus (berahi atau keinginan untuk kawin) dekat waktu ovulasi sehingga kemungkinan penyatuan sel kelamin jantan dengan sel telur dan kemungkinan pembuahan dapat dipertinggi. Ia harus menyediakan lingkungan intra-uterin yang sesuai untuk konseptus sejak pembuahan sampai partus, demikian pula lingkungan yang balk untuk anaknya sejak lahir sampai waktu disapih.

Pubertas (dewasa kelamin)
Pubertas dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu di mana organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi yang normal dan sempurna, yang masih akan tercapai kemudian. Pada hewan jantan, pubertas ditandai oleh kesanggupannya berkopulasi dan menghasilkan sperma di samping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain. Pada hewan betina pubertas dicerminkan oleh terjadinya estrus dan ovulasi.
Sebelum pubertas, saluran reproduksi betina dan ovarium perlahan-­lahan bertambah dalam ukuran dan tidak memperlihatkan aktivitas fungsional. Pertumbuhan yang lambat ini sejajar dengan pertambahan berat badan sewaktu hewan berangsur dewasa. Apabila suatu umur atau berat badan tertentu telah dicapai estrus dan ovulasi pertama terjadi walaupun dalam beberapa kasus ovulasi pertama mungkin tidak disertai oleh estrus. Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikan ukuran dan berat organ reproduksi secara cepat.

Homon dan Pubertas
Pertumbuhan dan perkembangan organ-organ kelamin betina sewaktu pubertas dipengaruhi oleh hormon-hormon gonadotropin dan hormon-hormon gonadal. Pelepasan FSH ke aliran darah men­jelang pubertas menyebabkan pertumbuhan folikel-folikel pada ovarium. Sewaktu folikel-folikel tersebut bertumbuh dan menjadi matang, berat ovarium meninggi dan estrogen disekresikan di dalam ovarium untuk dilepaskan ke dalam aliran darah.
Estrogen menyebab­kan pertumbuhan dan perkembangan saluran kelamin betina. Apabila folikel-folikel menjadi matang, ova dilepaskan (ovulasi) dan turun ke dalam tuba Fallopii.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa permulaan pubertas pada hewan betina disebabkan oleh pelepasan tiba-tiba hormon gonadotropin dari kelenjar adenohypophysa ke dalam saluran darah dan bukan karena dimulainya secara tiba-tiba produksi hormon-hormon tersebut. Penen­tuan hormon menunjukkan bahwa kelenjar adenohypophysa pada hewan betina yang belum dewasa kelamin mengandung hormon-hormon gonadotropin dalam jumlah yang relatif besar namun tidak menyebab­kan terjadinya pubertas pada umur muda tersebut.

Umur dan Berat Badan pada Pubertas
Terjadinya estrus pertama pada hewan betina muda sangat menyolok karena timbul secara tiba-tiba. Tampak seolah-olah suatu thermostat fisiologik telah disentakkan untuk menimbulkan aktivitas reproduksi.
Hal ini berarti bahwa timbulnya pubertas mungkin berhubungan melalui beberapa jalan dengan suatu perubahan keseimbangan antara pengeluaran gonadotropin dan hormon pertum­buhan oleh kelenjar adenohypophysa.
Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkinkan suatu kebuntingan dan kelahiran normal. Sapi-sapi dara sebaiknya dikawinkan menurut ukuran dan berat bukan menurut umur.
Olds dan Seath (1954) menyarankan bahwa sapi-sapi dara Holstein dan Brown Swiss dikawinkan sesudah mencapai berat kira-kira 340 kg, Airshire 295 kg, Guernsey 250 kg dan Jersey 227 kg.
Ukuran berat tersebut tercapai pada umur 10 sampai 25 bulan tergantung dari tingkatan makanan dan manajemen. Pertumbuhan pubertal yang cepat pada sapi-sapi dara Holstein dimulai selama bulan ketujuh sesudah lahir. Menjelang bulan kesepuluh pertumbuhan cepat saluran kelamin terhenti dan pertumbuhan. umum mulai melambat (Desjardins & Hafs, 1969).
Dengan makanan dan manajemen yang baik seekor sapi dara dapat dikawinkan pada umur 10 sampai 15 bulan, dan kuda pada umur 2 tahun.
Pada ternak betina pubertas mulai timbul pada umur-umur:
Sapi, bangsa Eropah       - 6 sampai 18 bulan
Sapi, Brahman dan Zebu  - 12 sampai 30 bulan
Domba                                        - 6 sampai 12 bulan
Sesudah perkawinan ternak dara tingkatan makanan selama ke­buntingan pertama harus cukup untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangannya agar supaya menjelang waktu partus tidak terjadi komplikasi-komplikasi seperti distokia.

Faktor faktor yang Mempengaruhi Pubertas
Karena pubertas dikontrol oleh mekanisme-mekanisme fisiologik tertentu yang melibatkan gonad dan kelenjar adenohypophysa, maka pubertas tidak luput dari pengaruh faktor herediter dan lingkungan yang bekerja melalui organ-organ tersebut.

Musim.
Domba-domba di negeri beriklim sedang adalah ternak yang kawin bermusim dengan estrus pada betina dewasa hanya terjadi pada akhir musim panas atau permulaan musim gugur.Domba-domba muda yang mungkin sudah cukup umur dan cukup berat badannya secara fisiologik telah mencapai pubertas beberapa minggu atau bulan sebelum musin kawin tetapi tidak memperlihatkan tanda­-tanda luar pubertas sampai tiba musim kawin. Namun demikian, waktu lahir tidak mempengaruhi umur pubertas pada domba-domba betina muda.

Suhu.
Pengaruh suhu lingkungan yang konstan terhadap timbulnya pubertas pada sapi-sapi dara Brahman (Zebu). Santa Gertrudis dan Shorthorn telah dipelajari oleh Dale et al. (1959). Pada sapi-sapi dara yang dikandangkan pada 80OF (28,90C) pubertas dicapai rata-rata pada umur 398 hari dibandingkan dengan 300 hari pada 5OOF (100C). Pada sapi-sapi dara yang ditempatkan di kandang terbuka dan berhubungan dengan kondisi udara luar, pubertas dicapai pada umur 320 hari.

Makanan.
Makanan yang cukup perlu untuk fungsi endokrin yang normal. Tingkatan makanan tampaknya mempengaruhi sintesa maupun pelepasan hormon dari kelenjar-kelenjar endokrin. Pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi hewan betina muda dihambat oleh kekurangan makanan tanpa membedakan apakah karena tingkatan ren­dah enersi, protein, mineral atau vitamin.
Akan tetapi berat hidup hanyalah salah satu dari faktor-faktor penentu umur pubertas. Apapun yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan, apakah itu penyakit, kekurangan makanan atau faktor-faktor lain, akan memperlambat timbulnya pubertas.
Kelambatan timbulnya pubertas karena kekurangan makanan mungkin disebabkan oleh kadar rendah gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar adenohypophysa, kurang respons ovaria, atau mungkin karena kegagalan ovaria untuk menghasilkan jumlah estrogen yang cukup. Kurang jelas apakah salah satu atau semua mekanisme tersebut terlihat.
Faktor faktor Genetik.
Faktor-faktor genetik yang mempengaruhi umur pubertas dicerminkan oleh perbedaan-perbedaan antar bangsa, strain, kelompok pejantan dan oleh persilangan dan inbreeding. Beberapa bangsa sapi perah mencapai pubertas sebelum bangsa-bangsa sapi potong.
Pengaruh-pengaruh genetik pada ternak mamalia betina, terutama pada inbreeding dan crossbreeding, menunjukkan bahwa gene-gene yang mempengaruhi pubertas sebagian besar bersifat non additive. Oleh karena itu, seleksi untuk umur pubertas yang lebih muda di dalam suatu bangsa atau jenis hewan relatif akan tidak efektif.
Musim kawin (Breeding Season)
Kebanyakan jenis hewan liar mempunyai musim kawin tertentu, yaitu pada waktu di mana kondisi-kondisi lingkungan yang baik memungkinkan kehidupan anak secara optimum. Apabila kebuntingan berlangsung 5 bulan, maka musim kawin dimulai pada musim gugur supaya anaknya akan lahir pada musim semi. Apabila lama kebuntingan 9 bulan, maka puncak musim kawin adalah pada awal musim panas, juga supaya anaknya lahir pada musim semi. Jadi, anaknya akan lahir pada waktu persediaan makanan cukup bagi induk untuk menghasilkan susu, dan suhu serta kondisi-kondisi iklim lainnya optimum untuk kehidupan dan pertumbuhan anak.
Seleksi di antara hewan-hewan liar terhadap hewan-hewan kawin­ bermusim telah pula berlaku terhadap variasi bermusim dalam sekresi den pelepasan hormon terutama gonadotropin dari adenohypophysa. Gene dan hormon mempunyai hubungan satu dengan yang lain karena diketahui bahwa pada ternak dan hewan-hewan percobaan gene bertang­gungjawab untuk produksi dan/atau pelepasan gonadotropin dan hormon-hormon adenohypophysa lainnya ke dalam aliran darah.
Di antara ternak mamalia hanya domba yang digolongkan sebagai ternak kawin-bermusim (seasonal breeders). Aktivitas seksual domba bervariasi dari manifestasi estrus hanya pada periode singkat dalam satu tahun untuk bangsa domba di negeri-negeri dingin sampai musim kawin sepanjang tahun pada bangsa-bangsa domba di daerah tropis dan sub­tropis. Sapi dan babi adalah pekawin terus-menerus (continuous breeders) sepanjang tahun. Akan tetapi, ada beberapa indikasi, terutama pada kuda betina, bahwa betina-betina pekawin terus-menerus memper­lihatkan kesediaan kawin yang lebih nyata pada musim kawin species primitif tersebut.
Faktor faktor yang Mempengaruhi Musim Kawin
Lamanya slang hari (photo-period). Marshall (1937) merupakan orang pertama yang menyelidiki bahwa suatu faktor luar tertentu ber­ tanggungjawab untuk pembatasan musim kawin pada domba. Ia meng­observasi bahwa apabila domba-domba betina dipindahkan melewati khatulistiwa dari belahan bumi Utara ke belahan bumi Selatan, domba­  domba tersebut segera merubah musim kelaminnya sesuai dengan lingkungan yang baru. Beberapa betina mengalami perubahan radikal dan segera, betina-betina lain masih mempertahankan ritme siklusnya yang lama untuk satu atau dua tahun menurut musim kawin di negeri asalnya, tetapi akhirnya menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Akan tetapi, beberapa betina lain tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan tidak terpengaruh oleh rangsangan­-rangsangan luar yang secara normal menyebabkan timbulnya musim kawin. Sebagai akibatnya, betina-betina tersebut tidak pernah ber­produksi pada lingkungannya yang baru.
Lamanya siang hari bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi periodisitas kegiatan reproduksi. Lama penyinaran secara buatanpun ikut berpengaruh. Dengan menambah lamanya pe­nyinaran secara buatan di musim dingin dan menguranginya selama musim panas, maka musim reproduksi dapat berbalik terjadi pada musim semi dan musim panas (Yeates, 1949). Apabila domba-domba betina diberi penyinaran secara buatan 6 jam sehari selama 3 tahun, periode anestrus masih tetap berlangsung dari April sampai Juli dengan puncak aktivitas seksual umumnya berlangsung dari Oktober sampai Januari (Clegg et al., 1965). Akan tetapi periode aktivitas reproduksi cenderung untuk diperpanjang, dan periode anestrus diperpendek. Apabila domba-domba betina bangsa Ile-de-France ditempatkan di dalam suatu ruangan dengan penerangan terus-menerus sepanjang tahun, kegiatan reproduksi akan berlangsung seperti biasa pada musim­nya yang normal (Thibault et al., 1966). Satu-satunya perbedaan yang terlihat adalah tendensi pemendekan musim reproduksi. Hasil penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa suatu ritme biologik in­ternal, di samping pemendekan siang hari, nampaknya ikut mempenga­ruhi kegiatan reproduksi dan timbulnya musim kawin pada domba.
Suhu.
Pengaruh suhu adalah sekunder terhadap pengaruh lamanya siang hari atau lamanya penyinaran. Seleksi alamiah selama periode banyak generasi akan lebih efektif terhadap respons lamanya siang hari daripada respons terhadap perubahan-perubahan suhu.
Faktor faktor lain.
Timbulnya musim reproduksi pada domba­-domba betina yang sama sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Hal ini berarti bahwa faktor-faktor lingkungan tertentu selain daripada lamanya siang hari dan suhu mungkin ikut pula terlibat.
Rangsangan-rangsangan psikologik dapat pula mempengaruhi tim­bulnya musim reproduksi pada domba. Telah ditemukan bahwa ter­jadinya musim reproduksi dapat dipercepat beberapa hari dengan menempatkan domba-domba betina bersama domba-domba jantan sebelum datangnya musim tersebut. Kemungkinan perangsangan tersebut menyerentakkan estrus dan ovulasi. Telah diketahui bahwa ovulasi pertama pada permulaan musim reproduksi biasanya tidak diser­tai oleh estrus.
Mekanisme Hormonal.
Pengendalian reproduksi pada ternak­-ternak yang kawin bermusim sebagian besar tergantung pada hypothalamus. Hypothalamus menjalankan pengaruhnya melalui sel-sel syaraf yang menyebabkan pengeluaran faktor-faktor pelepas (releasing factors) ke dalam peredaran darah menuju ke kelenjar adenohypophysa. Faktor-faktor pelepas ini mengatur kadar pelepasan gonadotropin ke dalam aliran darah dan secara langsung mempengaruhi produksi ova dan hormon-hormon kelamin betina oleh ovarium. Kebanyakan hormon-hormon kelamin akan menghambat aktivitas hypothalamus (feed back

Fase-fase siklus berahi
Sekali pubertas telah tercapai dan musim reproduksi telah dimulai, estrus terjadi pada hewan betina-tidak-bunting menurut suatu siklus ritmik yang khas. Interval antara timbulnya satu periode berahi ke per­mualan periode berahi berikutnya dikenal sebagai suatu siklus berahi. Interval-interval ini disertai oleh suatu seri perubahan-perubahan fisiologik di dalam saluran kelamin betina
Walaupun setiap species mempunyai ciri-ciri khas dari pola siklus berahinya, namun pada dasarnya adalah sama. Siklus berahi umumnya dibagi atas 4 fase atau periode yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Beberapa penulis memilih pembagian siklus berahi atas dua fase, fase folikuler atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus, dan fase. luteal atau progestational yang terdiri dari metestrus dan diestrus.
Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode di mana folikel de Graaf bertumbuh di bawah pengaruh FSH dan menghasilkan se­jumlah estradiol yang makin bertambah. Sistem reproduksi memulai persiapan-persiapan untuk pelepasan ovum dari ovarium. Folikel, atau folikel-folikel, tergantung pada species, mengembang dan diisi dengan cairan folikuler. Setiap folikel bertumbuh cepat selama 2 atau 3 hari sebelum estrus. Pada periode ini terjadi peningkatan dalam pertum­buhan sel-sel dan lapisan bercilia pada tuba Fallopii, dalam vaskularisasi mucosa uteri, dan dalam tebal dan vaskularisasi epithel vagina, dan kornifikasi terjadi pada beberapa species seperti anjing dan kucing.
Pada periode ini, sekresi estrogen ke dalam urine meninggi dan mulai terjadi penurunan konsentrasi progesteron di dalam darah. Corpus luteum dari periode terdahulu mengalami vakuolisasi degenerasi dan pengecilan secara cepat. Peningkatan menyolok pertum­buhan tenunan-tenunan epithel, aktivitas muskulatur saluran reproduksi, sekresi mucus, dan vaskularisasi endometrium dan mucosa vagina dikenal sebagai periode pembangunan. Perubahan-perubahan ke arah pembangunan ini disebabkan oleh sekresi estradiol yang makin meninggi. Pada akhir periode proestrus hewan betina biasanya memperlihatkan perhatiannya pada hewan jantan.
Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina. Selama periode ini umumnya hewan betina akan mencari dan menerima pejantan untuk berkopulasi. Folikel de Graaf membesar dan menjadi matang. Ovum mengalami perubahan-perubahan ke arah pematangan. Estradiol dari folikel de Graaf yang matang menyebabkan perubahan-perubahan pada saluran reproduksi tubuler yang maksimal pada fase ini. Tuba Fallopii menegang, epithel menjadi matang, dan cilia aktif; terjadi kontraksi tuba Fallopii dan ujung tuba yang berfimbria merapat ke follikel de Graaf. Sekresi cairan tuba bertambah. Uterus berereksi, tegang, dan pada beberapa species oedamatous. Suplai darah ke uterus bertambah; mucosa tumbuh dengan cepat, dan lendir disekresikan. Lendir cervix dan vagina bertambah. Mucosa berwarna merah jambu dan terjadi kongesti karena vaskularisasi yang bertambah. Cervix mengendor dan agak oedematous. Mucosa vagina sangat menebal dan pada beberapa species banyak sel-sel epithel berkornifikasi tanggal. Vulva mengendor dan oedematous pada semua species, tetapi sangat jelas pada babi. Pada sapi seutas tall lendir menggantung dari vulva. Menjelang akhir estrus mungkin terdapat kenaikan jumlah leucocyte yang berpindah ke dalam lumen uterus. Pada kebanyakan species ovulasi terjadi menjelang akhir periode estrus. Penerimaan terhadap pejantan selama estrus disebabkan oleh pengaruh estradiol pada sistem syaraf pusat, yang menghasilkan pola-pola kelakuan yang khas bags receptivitas pada berbagai hewan betina. Kelakuan kelamin jantan atau betina tidak khas bagi satu jenis kelamin dan pada kondisi-kondisi tertentu setup jenis kelamin dapat memperlihatkan kelakuan kelamin lainnya.
Metestrus atau postestrus adalah periode segera sesudah estrus di mana corpus luteum bertumbuh cepat dari sel-sel granulosa folikel yang telah pecah di bawah pengaruh LH dari adenohypophysa. Matestrus sebagian besar berada di bawah pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH oleh adenohypophysa sehingga menghambat pembentukan folikel de Graaf yang lain dan mencegah terjadinya estrus. Selama metestrus uterus mengadakan persiapan-persiapan seperlunya untuk menerima dan memberi makan pada embrio. Pada sapi, selama bagian permulaan metestrus, epithelium pada carunculae uterus sangat hiperaemis dan ter­jadii haemorrhagia kapiler. Hal ini disebut pendarahan metestrus atau pendarahan postestrus atau "menstruasi". Pendaharan metestrus tidak sama dengan menstruasi pada primata (manusia dan kera) yang terjadi sewaktu mengurangnya progesteron dan disebabkan oleh tanggalnya lapisan-lapisan superfisial endometrium. Pada sapi, pendarahan matestrus berhubungan dengan mengurangnya estrogen. Sekresi mucus menurun dan kelenjar-kelenjar pada endometrium bertumbuh dengan cepat. Menjelang pertengahan sampai akhir metestrus, uterus menjadi agak lunak karena pengendoran otot uterus. Pada anjing, kucing dan kelinci periode ini meliputi pula periode kebuntingan semu (pseudopreg­nancy). Pada sapi, domba, babi dan kuda, lamanya metestrus kurang lebih sama dengan waktu yang diperlukan ova untuk mencapai uterus yaitu kia-kira 3 sampai 4 hari. Pada anjing dan kucing, periode kebun­tingan semu dapat berlangsung masing-masing 50 sampai 60 hari dan 30 sampai 40 hari. Apabila kebuntingan tidak terjadi, uterus dan saluran reproduksi selebihnya beregresi ke keadaan yang kurang aktif yang sama sebelum proestrus, disebut diestrus.
Diestrus adalah periode terakhir dan terlama siklus berahi pada ternak-ternak mamalia. Corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progestron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Endometrium lebih menebal dan kelenjar-kelenjar berhypertrophy. Cervix menutup dan lendir vagina mulai kabur dan lengket. Selaput mucosa vagina pucat dan otot uterus mengendor. Pada akhir periode ini corpus luteum memperlihatkan perubahan-perubahan retrogresif dan vacuolisasi secara gradual. Endometrium dan kelenjar-kelenjarnya beratrophy atau ber­egresi ke ukuran semula. Mulai terjadi perkembangan folikel-folikel primer dan sekunder dan akhirnya kembali ke proestrus.
Pada beberapa species yang bukan polyestrous, dapat terjadi anestrus.
Anestrus yang fisiologik umumnya ditandai oleh ovarium dan saluran kelamin yang tenang dan tidak berfungsi. Anestrus normal akan diikutl oleh proestrus. Di negeri-negeri yang mempunyai 4 musim, anestrus fisiologik dapat diobservasi pada kuda selama musim dingin dan pada domba selama musim semi dan musim panas. Pada anjing dan kucing suatu periode anestrus fisiologik yang berlangsung beberapa bulan dan dapat terjadi dua atau tiga kali setahun. Oleh karena itu dipakai istilah anestrus untuk membedakannya dari diestrus, yang berlangsung hanya sekitar seminggu dan pada sapi, babi, dan hewan­hewan ployestrous lainnya ditandai oleh corpus luteum yang matang. Selama anestrus uterus kecil dan mengendor, dan lendir vagina jarang dan lengket. Mucosa vagina dan cervix pucat, cervix-pun pucat dan ter­tutup rapat. Beberapa aktivitas folikuler dan pada ovarium dapat berkembang tetapi pematangan folikel dan ovulasi jarang terjadi selama periode anestrus.


Lama berbagai periode siklus berahi pada hewan-hewan peliharaan rata-rata sebagai berikut :

Jenis
hewan
Sapi
Proestrus
(hari)
3
Estrus

12 - 24 jam
Metestrus
(hari)
3-5
Diestrus
(hari)
13
Domba
2
1 - 2 hari
3-5
7 - 10

Secara keseluruhan, sapi, babi dan kuda mempunyai siklus berahi yang berlangsung 20 sampai 21 hari, walaupun terdapat variasi beberapa hari dari Batas waktu tersebut (Tabel 6-1). Domba mempunyai siklus berahi yang lebih pendek, rata-rata 16 sampai 17 hari. Lama siklus yang abnormal dapat pula terjadi. Siklus berahi yang terlampau singkat menandakan bahwa ovarium tidak berfungsi secara normal dan menun­jukkan adanya suatu ketidakseimbangan hormonal.

Sesuai dengan siklus berahinya, hewan-hewan dapat dibagi dalam tiga golongan. Hewan-hewan monestrus adalah hewan-hewan yang hanya memiliki satu siklus berahi per tahun; termasuk ke dalam golongan ini biasanya hewan-hewan liar. Hewan-hewan polyestrus meliputi jenis-jenis ternak sapi, babi dan kuda yang memperlihatkan estrus secara periodik sepanjang tahun. Selama bulan-bulan diakhir musim gugur dan selama musim dingin kuda biasanya mempunyai satu periode anestrus. Ternak domba tergolong dalam hewan-hewan polyestrus bermusim, karena mempunyai siklus berahi periodik hanya selama musim tertentu dalam setahun. Anjing dan kucing lebih menyerupai hewan-hewan monestrus, dan dapat mempunyai 2 sampai 4 periode estrus dalarn setahun. Babi dan sapi yang sedang mempunyai anaknya dapat memperlihatkan anestrus, disebut lactational anestrus (Wagner, 1966).

Berahi (Estrus)

Estrus dan ovulasi sedikit banyaknya diserentakkan pada hewan betina untuk mempertinggi kemungkinan pertemuan ovum dengan spermatozoa dalarn proses pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan perkembangan individu baru Sinkronisasi estrus dan ovulasi perlu karena umur ovum sesudah ovulasi dan umur sperma yang sudah disemprotkan ke dalam saluran kelamin betina sangat terbatas untuk beberapa jam.

Gejala-gejala Berahi

GejaIa-gejala berahi yang telihat dari luar hampir sama pada semua ternak mamalia, walaupun terdapat beberapa variasi antar-species.
Selama estrus, sapi betina menjadi sangat tidak tenang, kurang nap­su makan, dan kadang-kadang menguak dan berkelana mencari hewan jantan. Ia mencoba menaiki sapi-sapi betina lain den akan diam berdiri bila dinaiki. Selama estrus ia akan tetap berdiri bile dinaiki pejantan den pasrah menerima pejantan untuk berkopulasi. Vulva sapi tersebut dapat membengkak, memerah dan penuh dengan sekresi mucus transparan (terang tembus, seperti kaca) yang menggantung dari vulva atau terlihat di sekeliling pangkal ekor.

Domba betina yang berahi akan mendekati dan memperhatikan pe­jantan, menggoyang-goyangkan ekornya dan akan diam berdiri bila dinaiki pejantan. Ia jarang menaiki betina-betina lain. Domba betina tersebut tidak mensekresikan lendir selama estrus dan vulva tidak oedematous.

Kuda betina yang berahi akan mengizinkan kuda jantan mencium dan menggigitnya tanpa memberi perlawanan, sering mengangkat ekor­nya dan kencing. A akan SAN diam bile dinaiki pejantan. Labia vulva dapat mengkuak dan memanjang dengan clitoris yang erektif. Sekresi bervariasi deism jumlahnya.

Lamanya Berahi

Lamanya berahi bervariasi antara jenis hewan dan an­tara individu dalarn satu species. Kemungkinan sebagian besar perbe­daan ini disebabkan oleh variasi-variasi sewaktu observasi estrus, terutama pada sapi dengan periode berahinya yang terpendek di antara semua ternak mamalia. Apakah hewan-hewan betina diobservasi untuk estrus memakai hewan-hewan jantan intak atau yang divasektomi atau hanya dengan observasi visual dapat pula merupakan suatu sebab perbedaan.
Beberapa faktor mempengaruhi durasi estrus pada ternak. Sapi dan domba dara sering memperlihatkan periode berahi yang lebih pendek daripada betina-betina yang lebih tua, tetapi lamanya estrus nampaknya tidak dipengaruhi oleh umur pada babi dan kuda. Periode-periode berahi yang lebih pendek terlihat pada kuda-kuda betina selama musim semi sampai pertengahan musim panas dibandingkan dengan pada musim-musim lain.

Lamanya berahi pada sapi-sapi di tegalan di mana jarang terdapat makanan mungkin lebih pendek daripada sapi yang dipelihara di kan­dang. Sapi yang berahi di pagi hari jarang memperlihatkan estrus jauh di malarn hari, dan sapi yang pertama kali berahi di sore hari jarang berahi besok paginya. Mungkin periode-periode estrus yang lebih pendek berhubungan dengan kekurangan makanan di tegalan. Sapi-sapi dengan siklus berahi yang sangat pendek den terjadi di pagi hari, jauh di malam hari, atau selama waktu malam dapat terlewatkan dan tidak diketahui sama sekali apabila perkawinan dilakukan secara inseminasi buatan.

Berahi Selama Kebuntingan
Berhentinya estrus sesudah perkawinan merupakan indikasi baik bahwa kebuntingan telah terjadi. Akan tetapi berahi dapat terjadi pada 3 sampai 5 prosen sapi-sapi yang bunting terutama selama 3 bulan pertama mesa kebuntingan walaupun dapat terjadi dalam bulan-bulan yang lebih tua. Domba dan kuda juga menunjukkan gejala-gejala berahi sesudah bunting tetapi frekuensinya tidak diketahui. Beberapa folikel yang tumbuh telah diobservasi pada hewan-hewan betina bunting tetapi jarang terjadi ovulasi. Akan tetapi ovulasi harus pernah terjadi karena superfoetasi atau dua kebuntingan yang berbarengan dengan foetus yang berbeda umur pada induk yang sama telah pernah dilaporkan.

Interval antara Partus den Estrus Pertama
Sesudah partus, hewan betina harus menghasilkan susu untuk anaknya den menyiapkan uterus, ovarium den organ-organ kelamin lain­nya dan sistem endokrin untuk memulai lagi suatu siklus normal dan un­tuk kebuntingan baru. Uterus harus kembali kepada ukuran dan posisi semula (dikenal sebagai involusi) dan mempersiapkan diri untuk kebun­tingan berikut.

Sapi.
Waktu yang diperlukan untuk involusi pada sapi berkisar an­tara 30 dan 50 hari. Involusi uterus biasanya tercapai menjelang periode estrus pertama sesudah partus. Interval antara partus ke estrus pertama pada sapi berkisar antara 50 dan 60 hari. Interval tersebut lebih lama , pada sapi potong yang kekurangan makanan, den lebih lama pada sapi­sapi yang menyusui anaknya dibandingkan dengan yang diperah due kali sehari. Ovulasi tanpa estrus terjadi juga pada sapi yang menyusui anaknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rangsangan me­nyusu den bukan pengeluaran air susu yang bertanggungjawab atas in­terval antara partus den estrus pertama.

Kuda.
Pada kuda involusi uteri terjadi pada 20 sampai 40 hari sesudah partus. Karena estrus pertama sesudah partus terjadi dalam waktu 6 sampai 13 hari, make uterus belum cukup berinvolusi sehingga angka konsepsi akan rendah bile dikawinkan pada seat tersebut. Akan tetapi implantasi embrio tidak terjadi sebelum 40 sampai 60 hari sesudah fertilisasi, den pada seat itu involusi uterus sudah sempurna.

Domba.
Waktu yang diperlukan untuk involusi uterus pada domba mempunyai arti praktis yang kecil karena kebanyakan domba mem­punyai musim reproduksi tertentu dan hanya melahirkan anak sekali setahun. Sebagai akibatnya domba-domba betina jarang dikawinkan jika sedang menyusui, tetapi dikawinkan beberapa bulan sesudah anaknya disapih. Hal ini memberi cukup waktu bagi uterus untuk berin­volusi sepenuhnya sebelum musim reproduksi berikutnya dimulai. Pada bangsa-bangsa domba yang melahirkan due kali dalam setahun, laktasi memperlambat kembalinya estrus sesudah partus.

Penyerentakan Berahí

Dengan penyerentakan berahi dimaksudkan pengendalian siklus berahi sedemikian rupa sehingga periode estrus pada banyak hewan betina terjadi serentak pada hari yang sama atau dalam waktu 2 atau 3 hari. Sinkronisasi estrus mempunyai beberapa keuntungan praktis bagi peternak terutama dalam peternakan sapi potong yang dipelihara secara ekstensif di lapangan dan perkawinannya dilaksanakan melalui in­seminasi buatan memakai bibit-bibit unggul yang diinginkan. Di cam­ping itu penggunaan teknik penyerentakan berahi pada peternakan­peternakan sapi perah, babi den domba juga dapat memberi arti ekonomis yang tidak kecil. Konsentrasi periode berahi dalam 2 atau 3 hari akan menghemat tenaga kerja; memungkinkan inseminasi pada banyak hewan betina dengan semen seekor pejantan unggul pada satu waktu tertentu; anak-anak yang lahir tidak perlu dipisahkan menurut kelompok-kelompok umur selama pertumbuhan dan peng­gemukan karena semuanya mempunyai umur yang hampir sama; waktu partus dan pemakaian dapat lebih dikonsentrasikan pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan keinginan peternak yang disesuaikan pula dengan permintaan di pasaran dan menurut pertimbangan-pertimbangan ekonomis. Dalam program pemindahan embrio (embryo transfer), teh­nik sinkronisasi estrus dapat dipakai untuk menyerentakan stadium sik­lus berahi antara hewan pemberi (donor) dan hewan penerima (recipient). Pemindahan embrio dapat dilaksanakan dengan berhasil ke dalam uterus penerima jika stadium siklus berahinya bersamaan dengan kea­daan uterus hewan donor. Supaya suatu program pengendalian siklus berahi dapat berhasil maka suatu angka konsepsi yang tinggi harus dicapai pada ovulasi yang diserentakan.

Dasar fisiologik dari penyerentakan berahi adalah hambatan pelepasan LH dari edenohypophysa yang menghambat pematangan foli­kel de Graaf, atau penyingkiran corpus luteum secara mekanik, manual atau secara fisiologik dengan pemberian preparat-preparat luteolitik. Karena progesteron menghambat pelepasan LH, pertumbuhan folikel, estrus dan ovulasi, maka progesteron merupakan preparat pertama yang dipakai untuk sinkronisasi estrus. Metoda pengontrolan ovulasi dengan penyingkiran corpus luteum secara manual yang menyebabkan estrus dan ovulasi dalam waktu 3 sampai 5 hari, rata-rata 2 sampai 7 hari, penyun­tikan 100 unit oxytocin dari hari kedua sampai keenam siklus berahi un­tuk memperpendek siklus menjadi 8 sampai 12 hari, pemakaian estrogen untuk meng-involusikan corpus luteum, dirasakan terlampau pelik, tidak praktis dan berbahaya bagi pemakaian rutin.

Pemakaian progesteron dalam sinkronisasi estrus pertama kali dilaporkan oleh Ulberg, Christian dan Casida (1951) yang menyatakan bahwa apabila dimulai kira-kira 15 hari sesudah akhir estrus, penyun­tikan 50 mg progesteron dalam minyak setiap hari atau 500 mg dalam bentuk "Repositol" setiap 10 hari akan menghambat estrus dan ovulasi pada sapi. Estrus terjadi dalam waktu 4 sampai 6 hari, rata-rata 5,2 hari, sesudah penghentian penyuntikan. Menurut Trimberger dan Hansel (1955) penyuntikan progesteron 50 sampai 100 mg setiap hari dari hari ke-15 sampai hari ke-19 siklus berahi akan menyebabkan estrus normal pada 14 dari 25 sapi yang disuntik dalam waktu rata-rata 4,6 hari sesudah penghentian penyuntikan dan hanya 50 prosen yang mempunyai corpora lutes normal. Suntikan-suntikan progesteron tidak selalu memberi respons yang seragam karena perbedaan-perbedaan individual dalam kadar penyerapan hormon tersebut, dan kadar penghambatan dan pemulihan kembali dari hambatan sesudah persediaan hormon di dalam tubuh habis.

Kini telah dihasilkan berbagai senyawa yang sama daya kerjanya dengan progesteron. Beberapa senyawa tersebut cukup efektif bila diberi per oral dan memberikan hasil yang lebih seragam pada hewan-­hewan betina dibandingkan dengan penyuntikan progesteron. MAP, 6-methyl-l7-acetoxyprogesterone, (Upjohn Co. "Repromix") per­tamakali dievaluasi pada tahun 1960 oleh Hansel dan Malven. Sapi-sapi betina yang diberi makan lebih dari 500 mg MAP setiap hari untuk 20 hari, menunjukkan berahi pada waktu yang bersamaan tetapi angka konsepsi hanya mencapai 25 prosen. Pada tahun 1963 diperkenalkan CAP, 6-chloro-6-dihydro-l7-acetvxyprogesterone, suatu senyawa pro­gestational yang lebih kuat. Dosis efektif minimal untuk MAP adalah 180 sampai 200 mg per hari per hewan yang diberi makan setiap hari pada waktu yang sama, sedangkan untuk CAP cukup 10 mg per ekor per hari. Terakhir telah diperkenalkan pula MGA, melengestrol acetate, yang jauh lebih kuat lagi dengan dosis hanya 1 m per ekor per hari (Dar­wash et al. 1965; Rousel & Beatty, 1969). DHPA, dihydroxy pro­gesterone acetophenide, suatu preparat progesteron lain, dapat pula dipakai untuk penyerentakan berahi pada sapi (Wilt bank et al., 1967). Hanya MAP yang sudah tersedia secara komersial di Amerika Serikat pada saat ini (Roberts, 1971). Lama optimum pemberian preparat-­preparat ini adalah 18 hari walaupun beberapa peneliti menganjurkan periode yang lebih pendek, 10 sampai 14 hari.

Angka konsepsi pada percobaan-percobaan dengan sapi-sapi perah dara dan sapi potong memakai preparat-preparat ini mencapai 20 sam­pai 70 presen pada estrus pertama yang terjadi serentak dalam waktu 2 sampai 8 hari sesudah akhir pemberian preparat progestagen. Sesudah pemberian MAP sapi-sapi memperlihatkan berahi dalam waktu 3 sampai 4 hari; dengan CAP dan MGA intervalnya lebih lama 2 sampai 3 hari. Pada hampir semua perlakuan angka konsepsi adalah 10 sampai 15 pro­sen di bawah nilai yang diperoleh pada sapi-sapi kontrol dan diinseminasi pada kondisi yang sama. Angka-angka konsepsi pada periode estrus berikutnya, yang terjadi sesudah interval 21 hari, adalah normal. Jadi tidak ada perpanjangan pengaruh progestagen.

Periode siklus berahi, permulaan, pertengahan atau akhir, sewaktu senyawa progestational mulai diberikan tidak mempengaruhi angka konsepsi pada estrus pertama yang diserentakkan (Astrom & Bane, 1968).

Angka-angka konsepsi yang rendah pada estrus yang disinkronisasi­kan mungkin disebabkan oleh kegagalan pembuahan karena gangguan pengangkutan sperms di dalam saluran kelamin betina. Spermatozoa dalam jumlah banyak yang ditempatkan ke dalam saluran kelamin pada estrus ternyata mempertinggi angka konsepsi dibandingkan dengan jumlah minimum spermatozoa. Tidak ads bukti bahwa hubungan waktu estrus-ovulasi ads sangkut pautnya dengan rendahnya angka konsepsi.

Menurut Jainudeen dan Hafez (1966), fertilitas yang rendah disebabkan oleh gangguan transport ova yang telah dibuahi atau kema­tian embrional.

Persenyawaan-persenyawaan progestatif telah dimasukkan ke dalam vagina dengan bantuan spons atau batang-batang yang mengan­dung persenyawaan-persenyawaan tersebut. Persenyawaan­persenyawaan ini diserap oleh aliran darah dari epithel vagina dan menghambat ovulasi. Pada waktunya, spons tersebut dapat dikeluarkan dari hewan-hewan betina dan estrus akan terjadi dalam beberapa hari kemudian. Pemakaian progestogen intravaginal pada sapi tidak sebaik pada domba karena biasanya terdorong keluar sebelum habis waktu per­cobaan.

Obat-obat nonsteroidal yang diberikan secara oral telah pula dicoba untuk menyerentakan berahi pada ternak. Di antaranya yang terkenal adalah ICI-33828, 1-alpha methylally-thin-carbomayl-2 methylthiocar­bomoylyhydrazine atau methallibure, yang dipakai untuk pengendalian siklus reproduksi pada babi. Pada ruminansia, obat-obat nonsteroidal tidak mempunyai pengaruh. Clomiphene atau MRL 4, suatu an­tiestrogen, telah dicoba pada sapi dan menghambat estrus tetapi tidak terjadi ovulasi sesudah pemberhentian pemberian obat. Clomiphene menghambat ovulasi dan mengganggu pelepasan LH.

Beberapa peneliti telah mencoba pemakaian estrogen untuk mengin­volusikan corpus luteum dalam suatu periode singkat pemberian MAP, 8 sampai 10 hari (Wiltbank & 1978). Ternyata bahwa estrogen tidak mem­perbaiki prosentase ternak yang berahi serentak sesudah pemberian MAP. Graves dan Dziuk (1978) telah melaporkan bahwa penyuntikan 500 IU HCG secara intramuskuler pada sapi 60 jam sesudah penghentian pemberian MAP menyebabkan ovulasi kira-kira 40 jam kemudian, dan inseminasi harus dilakukan 25 jam sesudah penyuntikan HCG. Beberapa peneliti lain telah memberikan FSH pada akhir percobaan dengan preparat-preparat progestogen dan memberikan LH beberapa hari kemudian, disusul dengan suatu periode yang lebih seragam kira­ kira 12 sampai 24 jam sebelum inseminasi untuk lebih memperbaiki derajht sinkronisasi dan menghilangkan kewajiban mendeteksi estrus.Hasil-hasilnya cukup memuaskan tetapi masih diperlukan lebih banyak penelitian sebelum dapat dipergunakan secara praktis. Faktor-faktoi harga dan kejadian multi-ovulasi jugs mempunyai peranan menentukan.

Preparat yang paling mutakhir dipakai dalam sinkronisasi estrus adalah prostaglandin dalam bentuk prostaglandin Fza (PGFza) karena sifat luteolitiknya. PGFza dikenal sebagai suatu vasokonstriktor dan pemberian PGFza menyebabkan hambatan pengaliran darah secara drastis melalui corpora lutes beberapa species. Pengurangan pengaliran darah yang lama dapat menyebabkan regresi corpus luteum.

Pemberian PGFza pada sapi sesudah, tetapi tidak sebelum, 5 hari sesudah estrus diikuti oleh penurunan kadar progesteron di dalam serum darah, pengurangan ukuran corpus luteum (Louis at al., 1973), dan kem­balinya estrus kira-kira 3 hari sesudah pemberian preparat tersebut (Inskeep, 1973, Launderdale, 1972; Louis at al., 1973). Fertilitas tampaknya normal, berdasarkan pengamatan pada jumlah sapi yang terbatas, baik untuk sapi yang diberi PFGza dan diberi embrio yang ditransferkan dari sapi betina pemberi (Rowson et al., 1972) atau untuk sapi yang diinseminasikan pada waktu estrus sesudah pemberian PGFza (Inskeep, 1973).

Biasanya PGFza sebanyak 4 sampai 6 mg, rata-rata 5 mg, yang dilarutkan dalam 0,75 ml aquadestillata (Nakahara et- al., 1974) diberi­kan intrauterin ke dalam corpus antara hari ke-5 dan ke-21 siklus berahi. Pemberian PGFza secara intrauterin dapat pula dikombinasikan dengan penyuntikan 400 ug estradiol benzoat secara subcutan atau dengan 250 ug faktor pelepas LH (LH releasing factors, LH - RF) secara in­tramuskuler; estradiol disuntikkan serentak dengan pemberian PGFza, sedangkan LH - RF disuntikkan 60 jam sesudah pemberian PGFza. Hasil-hasil dengan jumlah hewan yang sangat terbatas menunjukkan bahwa pemberian PGFza tersendiri hampir sama dengan kontrol dan masih jauh lebih baik daripada kombinasi dengan penyuntikan estradiol atau LH - RF, walaupun masih ada percobaan lain dengan hasil sebaliknya.

Menurut Nakahara et al (1974) pemberian hanya PGF2a intrauterin menyebabkan estrus pada 23,1%, 53,9%, 9,6% dan 13,4% sapi-sapi percobaan, masing-masing pada hari ke-2, ke-3, ke-4 dan antara hari ke-9 dan ke-16 sesudah pemberian preparat tersebut. Berarti bahwa mayoritas sapi-sapi percobaan memperlihatkan estrus 3 hari sesudah pemberian PGFza.

Penyuntikan garam PGFza - TRAM sebanyak 30 mg secara sub­ cutan atau intramuskuler pada sapi yang mengandung corpus luteum pada ovariumnya, berdasarkan palpasi rektal, memberikan fertilitas yang sama dengan kontrol yaitu antara 52 dan 55 prosen pada inseminasi pertama sewaktu estrus yang terjadi 2, 3 dan 4 hari sesudah penyuntikan (Lauderdalo at, el., 1974).

Penyuntikan 1,25 sampai 10 mg PGFZa secara subcutan pada kuda pada hari ke-6 sesudah ovulasi mengurangi lamanya dioestrus (Douglas & Ginther, 1972). Suatu analog sintetik prostaglandin, ICI-79939, dalam jumlah sedikit-dikitnya 100 ug yang diberikan secara intrauterin kepada kuda pada fase diestrus menyebabkan estrus dalam waktu 2 sampai 4 hari sesudah pemberian preparat tersebut (Allen & Rowson, 1973; Allen & Rossdale, 1973).

PERKAWINAN PERTAMA
Pada waktu anak sapi betina dilahIrkan, alat reproduksi telah Iengkap. Pada ovariumnya telah terdapat ratusan ribu sel telur (ovum). Akan tetapi sel-sel telur itu tinggal sampai betina menjelang dewasa kelamin. Sebelum masa dewasa kelamin tercapai, perkembangan sel telur tidak diteruskan menjadi telur yang masak untuk diovulasikan. Pada ternak sapi perah perkembangan folikel yang berisi sel telur menjadi masak dan siap diovulasikan yang pertama pada umur 10-12 bulan. Pada saat itu sapi perah dara telah mencapai umur dewasa kelamin atau masa puber. Secara alami sapi dara pada umur itu telah dapat menghasilkan keturunan apabila dikawinkan pada waktu yang tepat. Namun karena pada umumnya masa puber terjadi sebelum pertumbuhan jasmaniah mencapai kesempurnaan, maka sapi dara tadi baru boleh dikawinkan setelah mencapai umur 18 bulan. Dengan demikian pada umur sekitar 2,5 tahun sapi akan beranak yang pertama kali. Sedangkan sapi pejantan baru boleh dipakai sebagai  pemacek yang pertama kali setelah mencapai umur 18 bulan.
Umur dewasa kelamin  pada sapi perah bervariasi karena dipengaruhi oleh faktor ras, keadaan lingkungan dan terutama pemberian makanan. Pemberian rnakanan yang baik dan dalam jumlah yang cukup akan mempercepat terjadinya kedewasaan kelamin dan kedewasaan tubuh.

PENGAMATAN MASA BERAHl, SUKLUS BERAHI, DAN KELAINAN SIKLUS BERAHI

a.  Pengamatan masa berahi

Ternak betina akan mau menerima ternak jantan hanya pada waktu tertentu saja atau pada saat berahi saja
Sebab organ reproduksi betina bekerja secara teratur, sel telur diproduksi 3 minggu (21 Hari)sekali karena pengaruh kerja hormon. Akibat dari kerja hormoon itu, maka perilaku sapi yang bersangkutan akan berubah. Itulah yang disebut tanda-tanda berahi.

Untuk melakukan pengamatan masa berahi dan siklus berahi, peternak harus memiliki pengetahuan dan pengalaman dilapangan. Sapi dara yang telah mencapai umur dewasa kelamin, pada saat tertentu akan mengalami berahi. Pada waktu sapi sedang berahi perangainya akan sangat mencolok.

Sapi yang sedang berahi akan menunjukkan perilaku atau tanda-tanda sebagai berikut:
Sapi menjadi lebih peka atau mudah terangsang.
Sapi dalam keadaan gelisah, dan apabila sapi tersebut diikat selalu berusaha melepaskan diri.
Di dalam keadaan lepas, sapi berusaha mencari kontak atau mendekati pejantan.
Mencoba menaiki sesama kawan yang berdekatan.
Jika betina tadi dinaiki kawannya akan berdiam diri, atau membiarkan dinaiki teman.
Sering melenguh, ekor agak terangkat ke atas.
Vulva nampak merah, membengkak dan hangat (apabila diraba). Atau di dalam Bahasa Jawa populer disebut dengan istilah 3A (Abang, Abuh, Anget).
Dari vulva sering keluar lendir.

Masa  berahi sapi perah berlangsung selama rata-rata 17 -  18 jam. Sapi dara pada umumnya mengalami masa berahi lebih singkat daripada yang dewasa. Tanda-tanda berahi itulah yang dapat menolong peternak untuk melakukan pengaturan perkawinan yang tepat. Pada saatnya siklus berahi itu tiba, peternak harus dapat melakukan pengamatan dengan seksama, minimal sehari dua kali.

b.  Siklus berahi
8agi sapi-sapi yang sehat atau  normal, masa berahi akan terulang kembali secara teratur dengan jarak waktu (interval) 21 hari sekali dan sapi dara 20 hari atau bervariasi  17 -  26 hari.  Terulangnya masa berahi secara periodik ini disebut siklus berahi. Pada saat terjadinya masa berahi ini, proses pematangan folikel dan ovulasi pun akan terulang kembali secara teratur. Siklus berahi yang lamanya 21 hari ini dapat  dibagi menjadi  dua fase, yaitu:
1. Fase pembentukan folikel: 5 hari.
2. Fase pembentukan corpus luteum: 16 hari.
Lebih kurang 30 jam sebelum berakhirnya pembentukan folikel timbullah  tana-tanda berahi. Sedangkan ovulasi atau terlepasnya sel telur dari folikel terjadi 10-12 setelah berakhirnya gejala-gejala berahi.
Periode berahi pertama sampai dengan berahi berikutnya disebut siklus berahi.
Siklus berahi sapi berlangsung secara teratur pada setiap 3 minggu sekali.
Meskipun sedang berahi, sapi tersebut kadang-kadang sama sekali tidak menunjukkan adanya tanda-tanda berahi.
Hal ini mempersulit pengamatan para peternak.
Peristiwa semacam ini disebut berahi tenang (silent heat)
c. Kelalnan siklus berahI
Kadang-kadang para peternak dalam melakukan  pengamatan mengalami  kesulitan karena sering terjadi siklus berahi yang tidak normal seperti, berahi tidak muncul (anestrous), berahi tidak teratur (irregular estrous cycles) berahi tenang (silent estrous).
1)  Sapi tidak berahi (anestrous)
Sapi yang tidak berkembang mengakibatkan sapi tidak berahi. Kelainan genetis dan kesalahan pemberian makanan dapat juga mengakibatkan organ reproduksi menjadi lumpuh dan tidak bisa berfungsi. Hal ini bisa terjadi pada sementara sapi yang tidak mendapatkan makanan yang cukup dan kelainan genetis kurang diketahui, tetapi ovariumnya tidak berfungsi sehingga tidak bisa terjadi proses kemasakan folikel dan ovulasi.
Cara mengatasi kelainan semacam ini dapat dilakukan dengan pemberian hormon gonadotropin melalui injeksi agar ovulasi dapat ditingkatkan.
Adanya nanah dalam uterus atau plasenta akibat injeksi juga dapat mengakibatkan sapi tersebut tidak timbul berahi (anestrous). Dalam hal ini ada kemungkinan pula karena corpus luteum bertahan terus dan menghasilkan progesteron yang mengakibatkan sapi tidak berahi. Oleh karena itu, dalam hal ini usaha membersihkan nanah di dalam uterus sangat penting, agar masa berahi berjalan normal.
2) Berahi yang tidak teratur (Irregular estrous cycles)
Kadang-kadang ditemui adanya sapi yang siklus berahinya muncul lebih awal, kurang dari 18 hari. Sebaliknya, ada pula sapi yang siklus berahinya terlalu panjang, lebih dari 24 hari. Ketidakaturan siklus berahi semacam ini umumnya lebih banyak dialami oleh sapi-sapi pada periode awal sesudah melahirkan.
3) Berahi tenang (silent estrous / silent heat)
Menurut penelitian diperoleh suatu data bahwa terdapat 15-25 % dari seluruh ovulasi yang terjadi tanpa adanya gejala-gejala berahi. Walaupun sapi mengalami ovulasi yang normal, tetapi karena tanpa gejala berahi, maka hal ini menyulitkan para peternak atau inseminator untuk melakukan perkawinan.

3.    PERKAWlNAN YANG TEPAT PADA SAAT BERAHl

Perkawinan yang tepat bagi sapi yang sedang berahi dilakukan pada masa-masa subur. Masa subur yang dialami sapi perah berlangsung selama 15 jam. Masa subur ini dicapai 9 jam sesuadah tanda-tanda berahi terlihat dan 6 jam sesudah berahi itu berakhir. Ovulasi terjadi 10-12 jam sesudah berahi berakhir. Pergeseran 3 jam ke belakang masih memberikan angka konepsi (pembuahan) yang baik, akan tetapi lebih awal atau terlambat dari saat tersebut akan menghasilkan angka konsepsi yang rendah. Apabila perkawinan terlambat, 10-12 jam sesudah berakhirnya tanda-tanda berahi, maka sel telur tidak dapat dibuahi. Hal ini berhubungan erat dengan proses terjadinya ovulasi dan masa hidup sperma dalam alat reproduksi : 24-30 jam. Oleh karena itu, sel jantan harus sudah siap 6 jam sebelum terjadinya pembuahan. Sebaliknya, apabila sapi dikawinkan terlalu lambat, sel telur yang diovulasikan telah mati sebelum dibuahi.







1 komentar:

  1. tulisan nya susah dibaca..dirubah font nya mungkin lebih mudah dibaca buat pembaca :)

    BalasHapus